Sabtu, 11 Februari 2017

Pemanfaatan Facebook Sebagai Alat Enkulturasi Budaya Diskusi dan Literasi dalam Pembelajaran Siswa Sekolah Dasar



Pemanfaatan Facebook Sebagai Alat Enkulturasi Budaya Diskusi dan Literasi dalam Pembelajaran Siswa Sekolah Dasar
Oleh Hafni Resa Az-Zahra



Facebook merupakan sebuah media sosial yang booming di kalangan masyarakat Indoesia sekitar tahun 2008 yang diciptakan oleh Mark Zuckerberg, seorang pemuda asal Universitas Harvard Amerika.
Jika dikaji dari asal mula katanya, face berati wajah atau sampul atau halaman muka, dan book berarti buku. Maka facebook dapat didefinisikan sebagai halaman yang dapat mencerminkan sebuah isi yang tidak lain adalah buku itu sendiri. Sementara buku yang dimaksud adalah pribadi seseorang sehingga facebook diharapkan dapat mencerminkan karakter, pemikiran, atau kegiatan seseorang.
Facebook memfasilitasi para penggunanya dengan beragai fitur yang dapat dijadikan sebagai media komunikasi, informasi, eksistensi diri, promosi, bahkan hiburan. Sehingga hal-hal tersebut dapat menjadi motif masyarakat menggunakan facebook. Jika orang dewasa menggunakan facebook sebagai media komunikasi, informasi, eksistensi diri, dan promosi, maka anak-anak menggunakan facebook selain dari untuk alasan yang sama dengan orang dewasa, mereka juga menggunakannya untuk bermain game. Pada intinya, facebook menyuguhkan sebuah dunia baru bagi orang dewasa, remaja, dan anak-anak untuk melakukan segalanya dalam sebuah media sosial.
Media sosial yang identik dengan beranda dan statusnya ini banyak sekali diminati oleh semua lapisan masyarakat. Pengguna facebook di Indoensia saat ini menurut Anand Tilak, Kepala Facebook Indonesia, dalam Tempo.co 2014 dikatakan mencapai 69 juta orang.  Jumlah yang sekian banyak itu didominasi oleh remaja dan orang dewasa, namun ternyata anak-anak usia sekolah dasar juga memiliki jumlah yang lumayan mencengangkan.
Bagaimana cara anak-anak mengenal facebook? Itu beragam tergantung dengan proses sosialisasi yang mereka dapatkan. Hanya memang mediator yang paling utama adalah teman pergaulan dan lingkungan.
Di dalam proses sosialisasi dikenal dengan istilah enkulturasi di mana menururt Koentjaraningrat enkulturasi adalah proses ketika individu mempelajari sesuatu dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adat, sistem norma, dan peraturan dalam kebudayan di sekitarnya. Maka seorang anak yang bergaul dengan teman-temannya yang menggunakan facebook, atau di lingkungannya dipenuhi dengan orang dewasa yang menggunakan facebook,  dia akan melakukan proses enkulturasi dengan cara mengamati apa yang dilakukan orang-orang di sekitarnya dengan facebook tersebut, kemudian dia melakukan proses imitasi (meniru tindakan), lalu tindakan yang dia lakukan diinternalisasi ke dalam kepribadiannya, selanjutnya melalui proses meniru yang terus menerus itu hal yang dilakukannya menjadi sebuah pola yang mantap sehingga menjadi sebuah kebiasaan. Dalam hal penggunaan facebook ini maka kebiasaan yang lebih dominan adalah kebiasaan update status yang merupakan representasi dari apa yang dipikirkan, dirasakan, atau dilakukan oleh mereka yang menggunakan facebook.
Banyak fitur di dalam facebook yang bisa digunakan untuk berbagai keperluan misalnya untuk proses pembelajaran. Dalam hal ini guru dapat membuat grup facebook dengan nama kelas dan sekolah atau nama lainnya, kemudian siswa yang sudah mempunyai akun facebook masing-masing bergabung dengan grup tersebut. Grup yang dibuat oleh guru tersebut dapat digunakan untuk informasi tugas bahkan diskusi terkait studi kasus. Siswa diminta memberi tanggapan terhadap studi kasus yang diberikan guru di grup, demikian seterusnya hingga kegiatan tersebut menjadi kebiasaan agar sejak masih sekolah dasar siswa terbiasa untuk berpikir kritis dan diskusi di luar pembelajaran.
Selain dari grup di facebook, fitur catatan dalam facebook pun bisa dimanfaatkan untuk melatih siswa dalam menulis. Misal saja menulis puisi, cerita pendek, pantun, atau artikel sederhana. Biasanya kegiatan menulis akan menjadi hal yang monoton, membosankan bagi siswa karena tulisan yang mereka buat harus ditulis tangan dan dikumpulkan kepada guru tanpa apresiasi dari teman-temannya. Padahal jika saja tugas menulis itu diinstruksikan guru untuk dikerjakan di catatan facebook, maka siswa akan merasa tertarik karena yang mereka lakukan adalah hal yang baru. Tulisan siswa yang dipostingkan ke dalam catatan facebooknya dapat diapresiasi oleh guru secara langsung dan antar siswa itu sendiri. Mereka bisa saling memberikan komentar, kritik, saran, atau pujian terhadap tulisan yang mereka buat.
Bagi siswa yang malu-malu, hal itu bisa diredam dengan pemberian motivasi oleh guru bahwa dia tidak usah takut karena semua siswa di kelas pun melakukan hal yang sama, menulis di catatan facebook untuk diapresiasi oleh teman yang lain. Intinya bangkitkan kepercayaan dirinya dengan stimulus-stimulus positif. Jika di sisi lain guru melihat ada siswa yang tulisannya sudah baik, maka beri pula motivasi dan bimbingan kepada siswa tersebut untuk terus mengembangkan bakatnya dengan terus menulis, terus membuat karya, hingga mereka matang dalam bakat tersebut. Melalui pengembangan pola pembelajaran menulis dengan mengintruksikan tugas menulis di catatan facebook untuk materi-materi tertentu, maka hal itu dapat dijadikan sebagai penilaian portofolio terhadap keseluruhan karya tulis yang dibuat oleh siswa. Karena untuk ukuran siswa sekolah dasar rasanya masih terasa sulit untuk mengenalkan blog sebagai wadah bagi tulisan mereka.
Facebook Sebagai Alat Penilaian Afektif
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, facebook sering digunakan sebagai media eksistensi diri di mana seseorang akan menuliskan apa yang dirasakannya, dikerjakannya, dan dipikirkannya ke dalam kolom status. Maka dalam hal ini guru bisa membaca kepribadian dan karakter siswa satu per satu melalui apa yang dituliskan oleh siswanya. Karena memang kebanyakan tulisan seseorang juga merupakan cerminan dari siapa sebenarnya orang tersebut. Namun ada hal yang harus diperhatikan oleh guru dalam hal ini, yaitu faktor kedekatan dan kenyamanan siswa terhadap gurunya tersebut. Agar penilaian afektif ini bisa dilakukan, maka guru harus mengupayakan agar siswanya menganggapnya sebagai teman sehingga apa yang mereka tuliskan dalam kolom status adalah kejujuran, kebenaran tentang apa yang mereka pikirkan, rasakan, dan kerjakan, bukan sekedar tulisan pencitraan agar sikap mereka dinilai baik oleh gurunya.
Kembali kepada proses enkulturasi, setiap anak akan menginternalisasikan ke dalam dirinya segala perilaku yang mereka amati sebelumnya, kemudian hasil pengamatan itu mereka tiru. Setelah meniru mereka akan padukan unsur-unsur yang mereka dapatkan itu ke dalam karakter dalam dirinya sampai melakukannya berulang-ulang sehingga perilaku itu menjadi budaya mereka sendiri. Maka untuk hal ini guru bisa menanamkan enkulturasi yang positif dalam pemanfaatan facebook sebagai bagian dari kemajuan teknologi. Dengan menggunakan facebook sebagai media pembelajaran dan penilaian afektif bagi guru, maka diharapkan siswa akan memiliki budaya diskusi dan literasi sejak kecil sehingga mereka terbiasa menggunakan facebook khususnya dan teknologi pada umumnya untuk hal-hal yang positif, bukan hanya sekedar chatting apalagi disalahgunakan untuk hal-hal yang negatif.

Belajar Aksara Sunda

Lestarikan budaya, yuk belajar Aksara Sunda!

https://www.youtube.com/watch?v=tWojEcsIeGI&t=198s