Sabtu, 11 Februari 2017

Pemanfaatan Facebook Sebagai Alat Enkulturasi Budaya Diskusi dan Literasi dalam Pembelajaran Siswa Sekolah Dasar



Pemanfaatan Facebook Sebagai Alat Enkulturasi Budaya Diskusi dan Literasi dalam Pembelajaran Siswa Sekolah Dasar
Oleh Hafni Resa Az-Zahra



Facebook merupakan sebuah media sosial yang booming di kalangan masyarakat Indoesia sekitar tahun 2008 yang diciptakan oleh Mark Zuckerberg, seorang pemuda asal Universitas Harvard Amerika.
Jika dikaji dari asal mula katanya, face berati wajah atau sampul atau halaman muka, dan book berarti buku. Maka facebook dapat didefinisikan sebagai halaman yang dapat mencerminkan sebuah isi yang tidak lain adalah buku itu sendiri. Sementara buku yang dimaksud adalah pribadi seseorang sehingga facebook diharapkan dapat mencerminkan karakter, pemikiran, atau kegiatan seseorang.
Facebook memfasilitasi para penggunanya dengan beragai fitur yang dapat dijadikan sebagai media komunikasi, informasi, eksistensi diri, promosi, bahkan hiburan. Sehingga hal-hal tersebut dapat menjadi motif masyarakat menggunakan facebook. Jika orang dewasa menggunakan facebook sebagai media komunikasi, informasi, eksistensi diri, dan promosi, maka anak-anak menggunakan facebook selain dari untuk alasan yang sama dengan orang dewasa, mereka juga menggunakannya untuk bermain game. Pada intinya, facebook menyuguhkan sebuah dunia baru bagi orang dewasa, remaja, dan anak-anak untuk melakukan segalanya dalam sebuah media sosial.
Media sosial yang identik dengan beranda dan statusnya ini banyak sekali diminati oleh semua lapisan masyarakat. Pengguna facebook di Indoensia saat ini menurut Anand Tilak, Kepala Facebook Indonesia, dalam Tempo.co 2014 dikatakan mencapai 69 juta orang.  Jumlah yang sekian banyak itu didominasi oleh remaja dan orang dewasa, namun ternyata anak-anak usia sekolah dasar juga memiliki jumlah yang lumayan mencengangkan.
Bagaimana cara anak-anak mengenal facebook? Itu beragam tergantung dengan proses sosialisasi yang mereka dapatkan. Hanya memang mediator yang paling utama adalah teman pergaulan dan lingkungan.
Di dalam proses sosialisasi dikenal dengan istilah enkulturasi di mana menururt Koentjaraningrat enkulturasi adalah proses ketika individu mempelajari sesuatu dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adat, sistem norma, dan peraturan dalam kebudayan di sekitarnya. Maka seorang anak yang bergaul dengan teman-temannya yang menggunakan facebook, atau di lingkungannya dipenuhi dengan orang dewasa yang menggunakan facebook,  dia akan melakukan proses enkulturasi dengan cara mengamati apa yang dilakukan orang-orang di sekitarnya dengan facebook tersebut, kemudian dia melakukan proses imitasi (meniru tindakan), lalu tindakan yang dia lakukan diinternalisasi ke dalam kepribadiannya, selanjutnya melalui proses meniru yang terus menerus itu hal yang dilakukannya menjadi sebuah pola yang mantap sehingga menjadi sebuah kebiasaan. Dalam hal penggunaan facebook ini maka kebiasaan yang lebih dominan adalah kebiasaan update status yang merupakan representasi dari apa yang dipikirkan, dirasakan, atau dilakukan oleh mereka yang menggunakan facebook.
Banyak fitur di dalam facebook yang bisa digunakan untuk berbagai keperluan misalnya untuk proses pembelajaran. Dalam hal ini guru dapat membuat grup facebook dengan nama kelas dan sekolah atau nama lainnya, kemudian siswa yang sudah mempunyai akun facebook masing-masing bergabung dengan grup tersebut. Grup yang dibuat oleh guru tersebut dapat digunakan untuk informasi tugas bahkan diskusi terkait studi kasus. Siswa diminta memberi tanggapan terhadap studi kasus yang diberikan guru di grup, demikian seterusnya hingga kegiatan tersebut menjadi kebiasaan agar sejak masih sekolah dasar siswa terbiasa untuk berpikir kritis dan diskusi di luar pembelajaran.
Selain dari grup di facebook, fitur catatan dalam facebook pun bisa dimanfaatkan untuk melatih siswa dalam menulis. Misal saja menulis puisi, cerita pendek, pantun, atau artikel sederhana. Biasanya kegiatan menulis akan menjadi hal yang monoton, membosankan bagi siswa karena tulisan yang mereka buat harus ditulis tangan dan dikumpulkan kepada guru tanpa apresiasi dari teman-temannya. Padahal jika saja tugas menulis itu diinstruksikan guru untuk dikerjakan di catatan facebook, maka siswa akan merasa tertarik karena yang mereka lakukan adalah hal yang baru. Tulisan siswa yang dipostingkan ke dalam catatan facebooknya dapat diapresiasi oleh guru secara langsung dan antar siswa itu sendiri. Mereka bisa saling memberikan komentar, kritik, saran, atau pujian terhadap tulisan yang mereka buat.
Bagi siswa yang malu-malu, hal itu bisa diredam dengan pemberian motivasi oleh guru bahwa dia tidak usah takut karena semua siswa di kelas pun melakukan hal yang sama, menulis di catatan facebook untuk diapresiasi oleh teman yang lain. Intinya bangkitkan kepercayaan dirinya dengan stimulus-stimulus positif. Jika di sisi lain guru melihat ada siswa yang tulisannya sudah baik, maka beri pula motivasi dan bimbingan kepada siswa tersebut untuk terus mengembangkan bakatnya dengan terus menulis, terus membuat karya, hingga mereka matang dalam bakat tersebut. Melalui pengembangan pola pembelajaran menulis dengan mengintruksikan tugas menulis di catatan facebook untuk materi-materi tertentu, maka hal itu dapat dijadikan sebagai penilaian portofolio terhadap keseluruhan karya tulis yang dibuat oleh siswa. Karena untuk ukuran siswa sekolah dasar rasanya masih terasa sulit untuk mengenalkan blog sebagai wadah bagi tulisan mereka.
Facebook Sebagai Alat Penilaian Afektif
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, facebook sering digunakan sebagai media eksistensi diri di mana seseorang akan menuliskan apa yang dirasakannya, dikerjakannya, dan dipikirkannya ke dalam kolom status. Maka dalam hal ini guru bisa membaca kepribadian dan karakter siswa satu per satu melalui apa yang dituliskan oleh siswanya. Karena memang kebanyakan tulisan seseorang juga merupakan cerminan dari siapa sebenarnya orang tersebut. Namun ada hal yang harus diperhatikan oleh guru dalam hal ini, yaitu faktor kedekatan dan kenyamanan siswa terhadap gurunya tersebut. Agar penilaian afektif ini bisa dilakukan, maka guru harus mengupayakan agar siswanya menganggapnya sebagai teman sehingga apa yang mereka tuliskan dalam kolom status adalah kejujuran, kebenaran tentang apa yang mereka pikirkan, rasakan, dan kerjakan, bukan sekedar tulisan pencitraan agar sikap mereka dinilai baik oleh gurunya.
Kembali kepada proses enkulturasi, setiap anak akan menginternalisasikan ke dalam dirinya segala perilaku yang mereka amati sebelumnya, kemudian hasil pengamatan itu mereka tiru. Setelah meniru mereka akan padukan unsur-unsur yang mereka dapatkan itu ke dalam karakter dalam dirinya sampai melakukannya berulang-ulang sehingga perilaku itu menjadi budaya mereka sendiri. Maka untuk hal ini guru bisa menanamkan enkulturasi yang positif dalam pemanfaatan facebook sebagai bagian dari kemajuan teknologi. Dengan menggunakan facebook sebagai media pembelajaran dan penilaian afektif bagi guru, maka diharapkan siswa akan memiliki budaya diskusi dan literasi sejak kecil sehingga mereka terbiasa menggunakan facebook khususnya dan teknologi pada umumnya untuk hal-hal yang positif, bukan hanya sekedar chatting apalagi disalahgunakan untuk hal-hal yang negatif.

Belajar Aksara Sunda

Lestarikan budaya, yuk belajar Aksara Sunda!

https://www.youtube.com/watch?v=tWojEcsIeGI&t=198s

Senin, 29 Desember 2014

Rangkuman Materi Training Motivasi



Rangkuman Materi

Hari          : Minggu
Tanggal     : 14 Desember 2014
Tempat     : Islamic Center Sumedang
Waktu      : 10.00-12.00 WIB
Pemateri  : Ustd. Kemas Mahmud Al-Hanif
Tema       : Ikhlas Beribadah, Istiqomah dalam Berdakwah, Bersama Melangkah Menuju Jannah.

 Dokumentasi Pribadi, Desember 2014
 
Hidup adalah anugerah yang harus dijalani dengan penuh senyuman. Menurut hasil penelitian, jika telinga manusia dibelah kemudian telinga bagian kiri dan kanan disatukan, maka akan berbentuk hati, di mana hati ini mngindikasikan kebenaran. Banyak orang sukses di dunia ini adalah dari kalangan mereka yang lebih banyak memfungsikan telingany auntuk mendengar. Bahkan antara orang yang buta dan orang yang tuli, banyak diantara mereka yang sukses namun tetap lebih banyak ada di kalangan mereka yang buta. Dalam Al-Quran pula selalu kalimat itu berbunyi “wallahu sami’ul basir” Allah Maha Mendengar dan Melihat. Sehingga ternyata telinga adalah alat indera yang paling utama. Maka awali dari telinga untuk mendengarkan kebenaran.
Tokoh utama dalam novel dan film negeri 5 menara, ketika dia awalnya diminta orangtuanya untuk sekolah di pesantren dia tidak mau karena anggapannya pesantren itu kolot, kuno, gurunya pun tua semua. Namun setelah ia memasuki pesantren itu ia mendapati bahwa gurunya adalah seorang yang masih muda. Kemudian gurunya mengajarkan sebuah kalimat yang menjadi kekuatannya hingga ia mampu meraih semua mimpinyaa. Kalimat itu adalah “Manjadda wa jadda” yang artinya barang siapa yang bersungguh-sungguh, pasti akan berhasil. Maka dari itu niatkan dari sekarang untuk selalu bekerja dengan bersungguh-sungguh. Berkuliah dengan bersungguh-sungguh. Karena barangsiapa yang bersungguh-sungguh ia akan berhasil.
Kita harus bersungguh-sungguh juga karena hidup itu adalah sebuah proses yang penuh perjuangan. Maka dari itu, jika ingin menjadi hebat maka hidup kita pun harus penuh perjuangan. Karena tidak ada kesuksesan yang instan.
Namun tentunya kita jangan lupa untuk bersyukur, agar kita selalu diberi kebahagiaan. Apa yang kita perjuangkan harus kita jalani dengan penuh rasa syukur. Berjuang yang keras agar tidak menjadi pribadi yang rapuh dikemudian hari.
Ada seorang mahasiswa UPI yang berangkat dari Bangka Belitung untuk kuliah. Beliau bernama Aidil. Aidil berkuliah sambil berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya di Bandung dengan berjualan pempek. Tapi dia juga tidak lupa belajar dengan tekun dan beribadah. Di kampus dia aktivis dan anak rohis. IPKnya selalu terbaik di jurusannya. Niatnya satu-satunya hanyalah membahagiakan orangtuanya, berjuang untuk keluarganya. Namun sayang, suatu hari di akhir semester dia divonis dokter dengan penyakit meningitis. Padahal saat itu skripsinya sudah selesai, dia tinggal menunggu sidang. Akhirnya dekan fakultas, rektor, menyepakati dia tidak usah sidang, lagipula memang ternyata skripsinya itu terbaik di fakultasnya. Namun sayang setelah kebijakan tersebut  justru Aidil malah meninggal dunia, dia diantar kembali ke kampung halamannya dengan gelar almarhum tanpa sempat diwisuda padahal ia mahasiswa terbaik, shaleh dan penuh semangat untuk belajar juga mewujudkan mimpinya. Namun Allah lebih menghendaki untuk Aidil diwisuda di syurganya kelak. Perjuangan Aidil tersebut harus kita contoh. Kita harus bisa menjadi mahasiswa mandiri dan bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu dunia juga akhirat. Apapun yang terjadi, seberat apapun ujian yang dihadapi, kita harus tetap tegar dan semangat.
Belajar tentang makna kebahagiaan, kebahagiaan itu bukan ketika kita mendapatkan sesuatu, tetapi ketika kita memberi sesuatu. Bahagia itu bukan hanya untuk sendiri, tapi juga harus untuk orang lain. Manusia kecil hidup untuk dirinya sendiri. Manusia besar hidup untuk orang banyak. Hiduplah untuk berbuat sebanyak-banyaknya.
Ketika kita memiliki sebuah keinginan, jangan tinggalkan shalat. Shalat adalah hal yang harus paling diutamakan. “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”, Q.S. Adzariyat:56. Maka hidup ini selain harus diperuntukkan untuk berbagi dengan orang lain, juga utamakan untuk beribadah kepada Allah. “Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong agama Allah niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu”, Q.S. Muhammad:7.
Berjalanlah dalam Islam, karena dalam Islam ada ketenangan, kedamaian, dan kebahagiaan. Jadikan Nabi Muhammad SAW sebagai idola dan tauladan hidup. Michael Heart saja seorang ahli astronomi barat yang beragama kristen justru menenpatkan nabi Muhammad SAW sebagai urutan pertama dari 10 orang paling berpengaruh di dunia sepanjang zaman. Hal itu didapat dari yang ia dapati ketika ia berkeliling dunia dan mendengarkan redaksi suara adzan yang dikumandangkan di seluruh penjuru dunia ternyata sama. Idolakan dan contohlah Nabi Muhammad SAW, “sesungguhnya telah ada dalam diri Rasulullah SAW suri tauladan yang baik (Q.S. Al-Ahzab:21).
Oleh karena itu mulai saat ini sebagai mahasiswa, berusahalah yang keras dengan penuh kesungguhan untuk memberikan yang terbaik bagi orang-orang yang mempercayai kita. Lejitkan potensi yang kita miliki sebagai mahasiswa dengan tetap berpegang teguh pada agama. If you think you can, yes! You can.
Berprasangkalah yang baik kepada Allah. Karena Allah sesuai dengan prasangka hambanya. Jangan hanya membaca sejarah orang-orang hebat, tetapi catatlah sejarah. Jadilah tokoh dalam sejarah.  “sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”, Q.S At-Tiin:4. Maka optimalkan potensi kita sebagai manusia yang telah Allah ciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya.
Dalam mengejar mimpi juga jangan lupa untuk meminta restu orangtua. Do’a ibu pada anaknya layaknya do’a nabi pada umatnya.
Serta renungkanlah ini agar kita lebih menyadari siapa kita dan apa yang kita inginkan dalam hidup.
1.         Apa tujuan hidupmu?
2.         Siapa yang ingin kamu bahagiakan?
3.         Hadiah apa yang ingin kamu berikan untuk orang yang ingin kamu bahagiakan?
Renungkanlah!

Hubungan Mitos dengan Kearifan Lokal



Hubungan Mitos dengan Kearifan Lokal
 Oleh Hafni Resa Az-Zahra

Dokumentasi Pribadi, Agustus 2013
 
Menurut Khairul, dkk (2008), mitos adalah bagian dari cerita/prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh yang mempunyai cerita.
Sementara menurut Mawardi & Nur Hidayati (2007), mitos adalah pengetahuan baru yang bermunuculan dan kepercayaan.
Dari dua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa mitos adalah sebuah pengetahuan masyarakat yang dijadikan cerita dan diyakini oleh masyarakat benar-benar terjadi.
Adapun kearifan lokal berasal dari kata kearifan (wisdom) yang juga berarti kebijaksanaan, dan lokal (local) yang berarti setempat. Sehingga kearifan lokal dapat diartikan sebagai kebenaran setempat yang sudah menjadi bagian dari budaya dan memiliki nilai-nilai kebijaksanaan/kearifan.
Lalu bagaimana hubungannya antara mitos dengan kearifan lokal suatu daerah?
Kearifan lokal suatu daerah bisa muncul dari mitos yang diyakini oleh masyarakat di daerah tersebut. Mitos berasal dari rasa ingin tahu manusia akan kebutuhan non fisik atau kebutuhan alam pikirannya. Karena saat mitos ini berkembang ilmu pengetahuan manusia belum sepenuhnya berkembang, dengan kata lain manusia hanya menafsirkan sesuatu melalui alat inderanya saja, sehingga apa yang tidak dapat dijangkau dengan alat indera dan penalaran manusia mereka akan berusaha menafsirkannya dalam bentuk pengetahuan hasil terkaan yang mereka yakini kebenarannya. Seperti halnya adanya gunung meletus, dulu manusia belum mampu menafsirkan penyebab mengapa sebuah gunung bisa meletus, sehingga mereka membuat penafsiran sendiri bahwa gunung tersebut meletus karena “yang berkuasa” di gunung tersebut sedang marah. Mulai dari keyakinan seseorang akan hal tersebut, maka merembet pula kepada yang lain hingga akhirnya keyakinan seperti itu memasyarakat dan menjadi budaya dari masyarakat setempat. Berawal dari keyakinan bahwa ada “yang berkuasa” di sebuah gunung, maka agar “yang berkuasa” tersebut tidak marah, maka masyarakat membuat sebuah keyakinan bahwa mereka harus menyenangkan “penguasa” gunung tersebut. Misalnya dengan memberi sesajen-sesajen, menjaga alam pegunungan, dan lain-lain yang dapat mencegah kerusakan alam di gunung tersebut. Oleh karena itu, terbentuklah sebuah kearifan lokal yang merupakan bagian dari tradisi masyarakat yang mempunyai nilai-nilai kebijaksanaan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kearifan lokal bisa muncul dari mitos yang diyakini di daerah tersebut.
Mitos yang mengandung keraifan lokal akan membentuk pola perilaku masyarakat agar menjadi lebih hati-hati dan berbuat lebih baik lagi terhadap sesuatu yang dianggap bernilai, suci atau sakral. Seperti pada situs Sangkuriang di Citatah. Ketika masyarakat masih memercayai mitos tersebut maka potensi alam di gunung tersebut dijaga kelestariannya karena dianggap sangat bernilai dan sakral. Namun ketika mitos itu pelan-pelan mulai tidak diyakini masyarakat, maka kearifan lokalnya pun ikut memudar, masyarakat mulai berani mengeksploitasi atau membiarkan eksploitasi yang dilakukan oleh orang lain terhadap potensi alam di gunung tersebut karena nilai sakralnya dianggap telah hilang.
Memang seiring berkembangnya pengetahuan dan teknologi, mitos mulai kurang diyakini terutama oleh masyarakat modern yang telah melek akan pendidikan. Berbeda dengan masyarakat dahulu yang dapat menerima mitos dengan mudah karena pengetahuan masyarakat yang terbatas namun hasrat ingin tahunya terus berkembang, sehingga mitos merupakan jawaban yang paling memuaskan untuk saat itu. Seperti yang dikatakan oleh Mawardi & Nur Hidayati (2007), bahwa mitos dapat diterima masyarakat karena:
a.       Keterbatasan pengetahuan yang disebabkan oleh keterbatasan penginderaan, baik langusng maupun dengan alat.
b.      Keterbatasan penalaran manusia pada masa itu.
c.       Terpenuhinya hasrat ingin tahunya.
Kemudian bagaimana hubungannya antara mitos dan konsep kebudayaan?
Jika dihubungkan dengan konsep kebudayaan, maka mitos merupakan bagian integral dari kebudayaan. Mitos merupakan bagian dari kaidah kehidupan masyarakat, melibatkan pola pikir masyarakat yang berkembang pada zamannya. Mitos akan membentuk tradisi, kearifan lokal, keyakinan, kepercayaan, sampai nilai dan norma suatu adat daerah tertentu. Mitos bisa jadi merupakan produk kebudayaan suatu daerah atau justru membentuk budaya di daerah tersebut.
Contoh dari mitos merupakan produk kebudayaan suatu daerah adalah seperti peroses pemakaman Rambu Solo di tanah Toraja, kebudayaan untuk selalu meghormati kaum leluhur dan bangsawan di sana telah membuat masyarakat Tanah Toraja berusaha menguburkan mayat leluhur dan para bangsawan di kalangan mereka di dalam gua, batu, dan batang pohon karet. Mitos yang mereka yakini bahwa dengan menguburnya di dalam gua dan batu, maka leluhur mereka tidak akan terganggu dan bisa istirahat dengan tenang. Sementara di dalam batang pohon karet (khusus untuk mayat bayi), adalah agar bayi tidak kehausan karena getah karet yang menyerupai asi dapat diminum oleh mayat bayi. Adapun perihal mitos membentuk budaya di suatu daerah contohnya seperti pada gunung meletus di atas. Ketika diyakini gunung meletus karena “yang berkuasa” atas gunung tersebut marah, maka manusia berusaha membudayakan sebuah kegiatan/tradisi untuk membuat “penguasa” gunung tersebut tidak marah.
Bagaimana dengan mitos di daerah Sumedang?
Banyak sekali mitos yang beredar di daerah Jawa Barat, khususnya di daerah Sumedang ada sebuah mitos yang begitu diyakini oleh masyarakat di Dayeuh Luhur, Sumedang. Mitos tersebut adalah larangan memakai batik bila berkunjung ke situs makam Embah Jaya Perkosa. Mengapa demikian? Hal ini berasal dari sejarah permusuhan antara Kerajaan Sumedang Larang dengan Kesultanan Cirebon (1508-1601) yang disebabkan oleh perebutan Putri Harisbaya. Ketika Prabu Geusan Ulun pulang dari menunut ilmu di Demak, beliau mampir ke Kesultanan Cirebon. Di sana bertemulah Prabu Geusan Ulun dengan Putri Harisbaya yang merupakan istri Panembahan Rratu (Raja Kesultanan Cirebon). Diceritakan bahwa Putri Harisbaya tertarik kepada Prabu Geusan Ulun, dan pada suatu malam meminta Prabu Geusan Ulun untuk membawanya ke Sumedang. Singkat cerita setelah diketahui Putri Harisbaya menghilang karena dugaan penculikan oleh Prabu Geusan Ulun, maka dikehendakilah peperangan antara Kerajaan Sumedang dengan Kesultanan Cirebon. Namun yang berangkat ke medan perang adalah Embah Jaya Perkosa, sementara Prabu Geusan Ulun, Harisbaya tetap berada di Kutamaya lokasi Kerajaan Sumedang Larang pada saat itu. Embah Jaya Perkosa berwasiat dengan menanam sebuah pohon Hanjuang. Wasiat tersebut berisi jika Embah Jaya Perkosa gugur, maka pohon hanjuang itu akan layu. Sebaliknya, jika Embah Jaya Perkosa menang, maka pohon hanjuang itu akan tetap tumbuh. Namun timbul keresahan dari Prabu Geusan Ulun akan kekalahan Embah Jaya Perkosa di medan perang, oleh karena itu kerjaan Sumedang Larang dipindahkan dari Kutamaya ke Dayeuh Luhur. Sampai kerjaan pindah ke Dayeuh Luhur, pohon hanjuang yang ditanam Embah Jaya Perkosa masih belum layu. Namun Embah Jaya Perkosa sendiri tidak kunjung kembali. Akhirnya diyakini bahwa meski Embah Jaya Perkosa belum terlihat, beliau telah mati dan makamnya secara simbolis ada di Dayeuh Luhur. Meski raganya belum diketahui, namun dendam antara Embah Jaya Perkosa dari Kerajaan Sumedang Larang dengan Kesultanan Cirebon yang berperang kala itu masih tetap membara hingga saat ini. Maka karena batik merupakan pakaian khas daerah wetan, yang dalam hal ini adalah Cirebon, batik tidak boleh dipakai di daerah Dayeuh Luhur.
Berdasarkan Natawirya (dalam Noorikhsan, http://salmanitb.com) mengemukakan “Pernah kejadian dulu reporter Lativi (sekarang TvOne) memakai baju batik. Tiba-tiba dia jatuh dari tangga makam. Setelah sadar katanya seolah-olah ada yang mencekik”.
Berdasarkan mitos tersebut, hingga saat ini sebagian besar masyarakat masih meyakini bahwa untuk menjaga agar hal-hal buruk yang tidak diinginkan terjadi, maka ketika berkunjung ke Dayeuh Luhur tidak boleh memakai pakaian batik sebagai bentuk penghormatan atas kejadian peperangan tempo dulu.

Sumber:
Mawardi & Nur Hidayati (2007). Ilmu Alamiah Dasar Ilmu Sosial Dasar Ilmu Budaya Dasar. Bandung : CV Pustaka Setia.
Khairul, dkk. (2008). Sejarah untuk SMA dan MA Kelas X. Jakarta: Piranti Darma Kalokatama.
Noorikhsan, Faisal Fadilla. (2012). Dayeuh Luhur: Jejak-Jejak Kerajaan Sumedang di Kota Atas. [Online]. Tersedia: http://salmanitb.com/2012/09/17/dayeuh-luhur-jejak-jejak-kerajaan-sumedang-di-kota-atas/. (Minggu, 21 September 2014).