Hubungan Mitos dengan Kearifan Lokal
Oleh Hafni Resa Az-Zahra
Dokumentasi Pribadi, Agustus 2013
Menurut Khairul, dkk
(2008), mitos adalah bagian dari cerita/prosa rakyat yang dianggap benar-benar
terjadi serta dianggap suci oleh yang mempunyai cerita.
Sementara
menurut Mawardi & Nur Hidayati (2007), mitos adalah pengetahuan baru yang
bermunuculan dan kepercayaan.
Dari
dua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa mitos adalah sebuah pengetahuan
masyarakat yang dijadikan cerita dan diyakini oleh masyarakat benar-benar
terjadi.
Adapun
kearifan lokal berasal dari kata kearifan (wisdom)
yang juga berarti kebijaksanaan, dan lokal (local)
yang berarti setempat. Sehingga kearifan lokal dapat diartikan sebagai
kebenaran setempat yang sudah menjadi bagian dari budaya dan memiliki
nilai-nilai kebijaksanaan/kearifan.
Lalu
bagaimana hubungannya antara mitos dengan kearifan lokal suatu daerah?
Kearifan
lokal suatu daerah bisa muncul dari mitos yang diyakini oleh masyarakat di
daerah tersebut. Mitos berasal dari rasa ingin tahu manusia akan kebutuhan non
fisik atau kebutuhan alam pikirannya. Karena saat mitos ini berkembang ilmu
pengetahuan manusia belum sepenuhnya berkembang, dengan kata lain manusia hanya
menafsirkan sesuatu melalui alat inderanya saja, sehingga apa yang tidak dapat
dijangkau dengan alat indera dan penalaran manusia mereka akan berusaha
menafsirkannya dalam bentuk pengetahuan hasil terkaan yang mereka yakini
kebenarannya. Seperti halnya adanya gunung meletus, dulu manusia belum mampu
menafsirkan penyebab mengapa sebuah gunung bisa meletus, sehingga mereka
membuat penafsiran sendiri bahwa gunung tersebut meletus karena “yang berkuasa”
di gunung tersebut sedang marah. Mulai dari keyakinan seseorang akan hal
tersebut, maka merembet pula kepada yang lain hingga akhirnya keyakinan seperti
itu memasyarakat dan menjadi budaya dari masyarakat setempat. Berawal dari
keyakinan bahwa ada “yang berkuasa” di sebuah gunung, maka agar “yang berkuasa”
tersebut tidak marah, maka masyarakat membuat sebuah keyakinan bahwa mereka
harus menyenangkan “penguasa” gunung tersebut. Misalnya dengan memberi
sesajen-sesajen, menjaga alam pegunungan, dan lain-lain yang dapat mencegah
kerusakan alam di gunung tersebut. Oleh karena itu, terbentuklah sebuah kearifan
lokal yang merupakan bagian dari tradisi masyarakat yang mempunyai nilai-nilai
kebijaksanaan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kearifan lokal bisa muncul dari
mitos yang diyakini di daerah tersebut.
Mitos
yang mengandung keraifan lokal akan membentuk pola perilaku masyarakat agar
menjadi lebih hati-hati dan berbuat lebih baik lagi terhadap sesuatu yang
dianggap bernilai, suci atau sakral. Seperti pada situs Sangkuriang di Citatah.
Ketika masyarakat masih memercayai mitos tersebut maka potensi alam di gunung
tersebut dijaga kelestariannya karena dianggap sangat bernilai dan sakral.
Namun ketika mitos itu pelan-pelan mulai tidak diyakini masyarakat, maka
kearifan lokalnya pun ikut memudar, masyarakat mulai berani mengeksploitasi
atau membiarkan eksploitasi yang dilakukan oleh orang lain terhadap potensi
alam di gunung tersebut karena nilai sakralnya dianggap telah hilang.
Memang
seiring berkembangnya pengetahuan dan teknologi, mitos mulai kurang diyakini
terutama oleh masyarakat modern yang telah melek akan pendidikan. Berbeda
dengan masyarakat dahulu yang dapat menerima mitos dengan mudah karena
pengetahuan masyarakat yang terbatas namun hasrat ingin tahunya terus
berkembang, sehingga mitos merupakan jawaban yang paling memuaskan untuk saat
itu. Seperti yang dikatakan oleh Mawardi & Nur Hidayati (2007), bahwa mitos
dapat diterima masyarakat karena:
a. Keterbatasan
pengetahuan yang disebabkan oleh keterbatasan penginderaan, baik langusng
maupun dengan alat.
b. Keterbatasan
penalaran manusia pada masa itu.
c. Terpenuhinya
hasrat ingin tahunya.
Kemudian
bagaimana hubungannya antara mitos dan konsep kebudayaan?
Jika
dihubungkan dengan konsep kebudayaan, maka mitos merupakan bagian integral dari
kebudayaan. Mitos merupakan bagian dari kaidah kehidupan masyarakat, melibatkan
pola pikir masyarakat yang berkembang pada zamannya. Mitos akan membentuk
tradisi, kearifan lokal, keyakinan, kepercayaan, sampai nilai dan norma suatu
adat daerah tertentu. Mitos bisa jadi merupakan produk kebudayaan suatu daerah
atau justru membentuk budaya di daerah tersebut.
Contoh
dari mitos merupakan produk kebudayaan suatu daerah adalah seperti peroses
pemakaman Rambu Solo di tanah Toraja, kebudayaan untuk selalu meghormati kaum
leluhur dan bangsawan di sana telah membuat masyarakat Tanah Toraja berusaha
menguburkan mayat leluhur dan para bangsawan di kalangan mereka di dalam gua,
batu, dan batang pohon karet. Mitos yang mereka yakini bahwa dengan menguburnya
di dalam gua dan batu, maka leluhur mereka tidak akan terganggu dan bisa
istirahat dengan tenang. Sementara di dalam batang pohon karet (khusus untuk
mayat bayi), adalah agar bayi tidak kehausan karena getah karet yang menyerupai
asi dapat diminum oleh mayat bayi. Adapun perihal mitos membentuk budaya di
suatu daerah contohnya seperti pada gunung meletus di atas. Ketika diyakini
gunung meletus karena “yang berkuasa” atas gunung tersebut marah, maka manusia
berusaha membudayakan sebuah kegiatan/tradisi untuk membuat “penguasa” gunung
tersebut tidak marah.
Bagaimana
dengan mitos di daerah Sumedang?
Banyak
sekali mitos yang beredar di daerah Jawa Barat, khususnya di daerah Sumedang
ada sebuah mitos yang begitu diyakini oleh masyarakat di Dayeuh Luhur,
Sumedang. Mitos tersebut adalah larangan memakai batik bila berkunjung ke situs
makam Embah Jaya Perkosa. Mengapa demikian? Hal ini berasal dari sejarah
permusuhan antara Kerajaan Sumedang Larang dengan Kesultanan Cirebon
(1508-1601) yang disebabkan oleh perebutan Putri Harisbaya. Ketika Prabu Geusan
Ulun pulang dari menunut ilmu di Demak, beliau mampir ke Kesultanan Cirebon. Di
sana bertemulah Prabu Geusan Ulun dengan Putri Harisbaya yang merupakan istri
Panembahan Rratu (Raja Kesultanan Cirebon). Diceritakan bahwa Putri Harisbaya
tertarik kepada Prabu Geusan Ulun, dan pada suatu malam meminta Prabu Geusan
Ulun untuk membawanya ke Sumedang. Singkat cerita setelah diketahui Putri
Harisbaya menghilang karena dugaan penculikan oleh Prabu Geusan Ulun, maka
dikehendakilah peperangan antara Kerajaan Sumedang dengan Kesultanan Cirebon.
Namun yang berangkat ke medan perang adalah Embah Jaya Perkosa, sementara Prabu
Geusan Ulun, Harisbaya tetap berada di Kutamaya lokasi Kerajaan Sumedang Larang
pada saat itu. Embah Jaya Perkosa berwasiat dengan menanam sebuah pohon
Hanjuang. Wasiat tersebut berisi jika Embah Jaya Perkosa gugur, maka pohon
hanjuang itu akan layu. Sebaliknya, jika Embah Jaya Perkosa menang, maka pohon
hanjuang itu akan tetap tumbuh. Namun timbul keresahan dari Prabu Geusan Ulun
akan kekalahan Embah Jaya Perkosa di medan perang, oleh karena itu kerjaan
Sumedang Larang dipindahkan dari Kutamaya ke Dayeuh Luhur. Sampai kerjaan
pindah ke Dayeuh Luhur, pohon hanjuang yang ditanam Embah Jaya Perkosa masih
belum layu. Namun Embah Jaya Perkosa sendiri tidak kunjung kembali. Akhirnya
diyakini bahwa meski Embah Jaya Perkosa belum terlihat, beliau telah mati dan
makamnya secara simbolis ada di Dayeuh Luhur. Meski raganya belum diketahui,
namun dendam antara Embah Jaya Perkosa dari Kerajaan Sumedang Larang dengan
Kesultanan Cirebon yang berperang kala itu masih tetap membara hingga saat ini.
Maka karena batik merupakan pakaian khas daerah wetan, yang dalam hal ini
adalah Cirebon, batik tidak boleh dipakai di daerah Dayeuh Luhur.
Berdasarkan
Natawirya (dalam Noorikhsan, http://salmanitb.com)
mengemukakan “Pernah kejadian dulu reporter Lativi (sekarang TvOne) memakai
baju batik. Tiba-tiba dia jatuh dari tangga makam. Setelah sadar katanya
seolah-olah ada yang mencekik”.
Berdasarkan
mitos tersebut, hingga saat ini sebagian besar masyarakat masih meyakini bahwa
untuk menjaga agar hal-hal buruk yang tidak diinginkan terjadi, maka ketika
berkunjung ke Dayeuh Luhur tidak boleh memakai pakaian batik sebagai bentuk
penghormatan atas kejadian peperangan tempo dulu.
Sumber:
Mawardi
& Nur Hidayati (2007). Ilmu Alamiah
Dasar Ilmu Sosial Dasar Ilmu Budaya Dasar. Bandung : CV Pustaka Setia.
Khairul,
dkk. (2008). Sejarah untuk SMA dan MA
Kelas X. Jakarta: Piranti Darma Kalokatama.
Noorikhsan,
Faisal Fadilla. (2012). Dayeuh Luhur:
Jejak-Jejak Kerajaan Sumedang di Kota Atas. [Online]. Tersedia: http://salmanitb.com/2012/09/17/dayeuh-luhur-jejak-jejak-kerajaan-sumedang-di-kota-atas/.
(Minggu, 21 September 2014).
mitos dan kearifan lokal sesuatu yang sulit dipisahkan, mampir ke warung kita ya sablon gelas plastik di ciputat
BalasHapusBenar
Hapus