Senin, 29 Desember 2014

Hubungan Mitos dengan Kearifan Lokal



Hubungan Mitos dengan Kearifan Lokal
 Oleh Hafni Resa Az-Zahra

Dokumentasi Pribadi, Agustus 2013
 
Menurut Khairul, dkk (2008), mitos adalah bagian dari cerita/prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh yang mempunyai cerita.
Sementara menurut Mawardi & Nur Hidayati (2007), mitos adalah pengetahuan baru yang bermunuculan dan kepercayaan.
Dari dua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa mitos adalah sebuah pengetahuan masyarakat yang dijadikan cerita dan diyakini oleh masyarakat benar-benar terjadi.
Adapun kearifan lokal berasal dari kata kearifan (wisdom) yang juga berarti kebijaksanaan, dan lokal (local) yang berarti setempat. Sehingga kearifan lokal dapat diartikan sebagai kebenaran setempat yang sudah menjadi bagian dari budaya dan memiliki nilai-nilai kebijaksanaan/kearifan.
Lalu bagaimana hubungannya antara mitos dengan kearifan lokal suatu daerah?
Kearifan lokal suatu daerah bisa muncul dari mitos yang diyakini oleh masyarakat di daerah tersebut. Mitos berasal dari rasa ingin tahu manusia akan kebutuhan non fisik atau kebutuhan alam pikirannya. Karena saat mitos ini berkembang ilmu pengetahuan manusia belum sepenuhnya berkembang, dengan kata lain manusia hanya menafsirkan sesuatu melalui alat inderanya saja, sehingga apa yang tidak dapat dijangkau dengan alat indera dan penalaran manusia mereka akan berusaha menafsirkannya dalam bentuk pengetahuan hasil terkaan yang mereka yakini kebenarannya. Seperti halnya adanya gunung meletus, dulu manusia belum mampu menafsirkan penyebab mengapa sebuah gunung bisa meletus, sehingga mereka membuat penafsiran sendiri bahwa gunung tersebut meletus karena “yang berkuasa” di gunung tersebut sedang marah. Mulai dari keyakinan seseorang akan hal tersebut, maka merembet pula kepada yang lain hingga akhirnya keyakinan seperti itu memasyarakat dan menjadi budaya dari masyarakat setempat. Berawal dari keyakinan bahwa ada “yang berkuasa” di sebuah gunung, maka agar “yang berkuasa” tersebut tidak marah, maka masyarakat membuat sebuah keyakinan bahwa mereka harus menyenangkan “penguasa” gunung tersebut. Misalnya dengan memberi sesajen-sesajen, menjaga alam pegunungan, dan lain-lain yang dapat mencegah kerusakan alam di gunung tersebut. Oleh karena itu, terbentuklah sebuah kearifan lokal yang merupakan bagian dari tradisi masyarakat yang mempunyai nilai-nilai kebijaksanaan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kearifan lokal bisa muncul dari mitos yang diyakini di daerah tersebut.
Mitos yang mengandung keraifan lokal akan membentuk pola perilaku masyarakat agar menjadi lebih hati-hati dan berbuat lebih baik lagi terhadap sesuatu yang dianggap bernilai, suci atau sakral. Seperti pada situs Sangkuriang di Citatah. Ketika masyarakat masih memercayai mitos tersebut maka potensi alam di gunung tersebut dijaga kelestariannya karena dianggap sangat bernilai dan sakral. Namun ketika mitos itu pelan-pelan mulai tidak diyakini masyarakat, maka kearifan lokalnya pun ikut memudar, masyarakat mulai berani mengeksploitasi atau membiarkan eksploitasi yang dilakukan oleh orang lain terhadap potensi alam di gunung tersebut karena nilai sakralnya dianggap telah hilang.
Memang seiring berkembangnya pengetahuan dan teknologi, mitos mulai kurang diyakini terutama oleh masyarakat modern yang telah melek akan pendidikan. Berbeda dengan masyarakat dahulu yang dapat menerima mitos dengan mudah karena pengetahuan masyarakat yang terbatas namun hasrat ingin tahunya terus berkembang, sehingga mitos merupakan jawaban yang paling memuaskan untuk saat itu. Seperti yang dikatakan oleh Mawardi & Nur Hidayati (2007), bahwa mitos dapat diterima masyarakat karena:
a.       Keterbatasan pengetahuan yang disebabkan oleh keterbatasan penginderaan, baik langusng maupun dengan alat.
b.      Keterbatasan penalaran manusia pada masa itu.
c.       Terpenuhinya hasrat ingin tahunya.
Kemudian bagaimana hubungannya antara mitos dan konsep kebudayaan?
Jika dihubungkan dengan konsep kebudayaan, maka mitos merupakan bagian integral dari kebudayaan. Mitos merupakan bagian dari kaidah kehidupan masyarakat, melibatkan pola pikir masyarakat yang berkembang pada zamannya. Mitos akan membentuk tradisi, kearifan lokal, keyakinan, kepercayaan, sampai nilai dan norma suatu adat daerah tertentu. Mitos bisa jadi merupakan produk kebudayaan suatu daerah atau justru membentuk budaya di daerah tersebut.
Contoh dari mitos merupakan produk kebudayaan suatu daerah adalah seperti peroses pemakaman Rambu Solo di tanah Toraja, kebudayaan untuk selalu meghormati kaum leluhur dan bangsawan di sana telah membuat masyarakat Tanah Toraja berusaha menguburkan mayat leluhur dan para bangsawan di kalangan mereka di dalam gua, batu, dan batang pohon karet. Mitos yang mereka yakini bahwa dengan menguburnya di dalam gua dan batu, maka leluhur mereka tidak akan terganggu dan bisa istirahat dengan tenang. Sementara di dalam batang pohon karet (khusus untuk mayat bayi), adalah agar bayi tidak kehausan karena getah karet yang menyerupai asi dapat diminum oleh mayat bayi. Adapun perihal mitos membentuk budaya di suatu daerah contohnya seperti pada gunung meletus di atas. Ketika diyakini gunung meletus karena “yang berkuasa” atas gunung tersebut marah, maka manusia berusaha membudayakan sebuah kegiatan/tradisi untuk membuat “penguasa” gunung tersebut tidak marah.
Bagaimana dengan mitos di daerah Sumedang?
Banyak sekali mitos yang beredar di daerah Jawa Barat, khususnya di daerah Sumedang ada sebuah mitos yang begitu diyakini oleh masyarakat di Dayeuh Luhur, Sumedang. Mitos tersebut adalah larangan memakai batik bila berkunjung ke situs makam Embah Jaya Perkosa. Mengapa demikian? Hal ini berasal dari sejarah permusuhan antara Kerajaan Sumedang Larang dengan Kesultanan Cirebon (1508-1601) yang disebabkan oleh perebutan Putri Harisbaya. Ketika Prabu Geusan Ulun pulang dari menunut ilmu di Demak, beliau mampir ke Kesultanan Cirebon. Di sana bertemulah Prabu Geusan Ulun dengan Putri Harisbaya yang merupakan istri Panembahan Rratu (Raja Kesultanan Cirebon). Diceritakan bahwa Putri Harisbaya tertarik kepada Prabu Geusan Ulun, dan pada suatu malam meminta Prabu Geusan Ulun untuk membawanya ke Sumedang. Singkat cerita setelah diketahui Putri Harisbaya menghilang karena dugaan penculikan oleh Prabu Geusan Ulun, maka dikehendakilah peperangan antara Kerajaan Sumedang dengan Kesultanan Cirebon. Namun yang berangkat ke medan perang adalah Embah Jaya Perkosa, sementara Prabu Geusan Ulun, Harisbaya tetap berada di Kutamaya lokasi Kerajaan Sumedang Larang pada saat itu. Embah Jaya Perkosa berwasiat dengan menanam sebuah pohon Hanjuang. Wasiat tersebut berisi jika Embah Jaya Perkosa gugur, maka pohon hanjuang itu akan layu. Sebaliknya, jika Embah Jaya Perkosa menang, maka pohon hanjuang itu akan tetap tumbuh. Namun timbul keresahan dari Prabu Geusan Ulun akan kekalahan Embah Jaya Perkosa di medan perang, oleh karena itu kerjaan Sumedang Larang dipindahkan dari Kutamaya ke Dayeuh Luhur. Sampai kerjaan pindah ke Dayeuh Luhur, pohon hanjuang yang ditanam Embah Jaya Perkosa masih belum layu. Namun Embah Jaya Perkosa sendiri tidak kunjung kembali. Akhirnya diyakini bahwa meski Embah Jaya Perkosa belum terlihat, beliau telah mati dan makamnya secara simbolis ada di Dayeuh Luhur. Meski raganya belum diketahui, namun dendam antara Embah Jaya Perkosa dari Kerajaan Sumedang Larang dengan Kesultanan Cirebon yang berperang kala itu masih tetap membara hingga saat ini. Maka karena batik merupakan pakaian khas daerah wetan, yang dalam hal ini adalah Cirebon, batik tidak boleh dipakai di daerah Dayeuh Luhur.
Berdasarkan Natawirya (dalam Noorikhsan, http://salmanitb.com) mengemukakan “Pernah kejadian dulu reporter Lativi (sekarang TvOne) memakai baju batik. Tiba-tiba dia jatuh dari tangga makam. Setelah sadar katanya seolah-olah ada yang mencekik”.
Berdasarkan mitos tersebut, hingga saat ini sebagian besar masyarakat masih meyakini bahwa untuk menjaga agar hal-hal buruk yang tidak diinginkan terjadi, maka ketika berkunjung ke Dayeuh Luhur tidak boleh memakai pakaian batik sebagai bentuk penghormatan atas kejadian peperangan tempo dulu.

Sumber:
Mawardi & Nur Hidayati (2007). Ilmu Alamiah Dasar Ilmu Sosial Dasar Ilmu Budaya Dasar. Bandung : CV Pustaka Setia.
Khairul, dkk. (2008). Sejarah untuk SMA dan MA Kelas X. Jakarta: Piranti Darma Kalokatama.
Noorikhsan, Faisal Fadilla. (2012). Dayeuh Luhur: Jejak-Jejak Kerajaan Sumedang di Kota Atas. [Online]. Tersedia: http://salmanitb.com/2012/09/17/dayeuh-luhur-jejak-jejak-kerajaan-sumedang-di-kota-atas/. (Minggu, 21 September 2014).

2 komentar: