Senin, 29 Desember 2014

Resume Pembelajaran: Karakteristik Inovasi Pendidikan



NAMA   : HAFNI
KELAS   : 2-A

KARAKTERISTIK INOVASI PENDIDIKAN
Diskusi kedua mata kuliah Inovasi Pendidikan pada Hari Selasa, 17 September 2013 membahas tentang “Karakteristik Inovasi Pendidikan”. Materi yang didapat dari hasil diskusi tersebut adalah faktor-faktor keuntungan yang mempengaruhi cepat lambatnya proses inovasi diterima oleh masyarakat yang dikemukakan oleh Everett M. Roggers serta atribut Inovasi yang dikemukakan oleh Zaltman.
Setidaknya ada lima faktor yang mempengaruhi cepat atau tidaknya inovasi diterima dan tersebar di masyarakat. Diantaranya:
1.        Keuntungan relatif
Makin menguntungkan suatu inovasi bagi penerima maka makin cepat inovasi itu tersebar.
2.        Kompetibel
Makin sesuai inovasi dengan nilai pengalaman lalu, dan makin sesuai dengan kebutuhan penerima, maka makin cepat pula inovasi tersebut tersebat.
3.        Kompleksitas
Semakin inovasi itu mudah dimengerti masyarakat, maka masyarakat akan lebih cepat menerimanya dan inovasi tersebut akan semakin cepat tersebar.
4.        Triabilitas
Jika suatu novasi dicoba maka ada kecenderungan inovasi tersebut diterima dan cepat tersebar di kalangan masyarakat.
5.        Dapat diamati
Semakin inovasi mudah diamati masyarakat, maka akan semakin mudah difahami sehingga pada akhirnya mudah diterima dan tersebar di masyarakat.
Sementara itu dipaparkan beberapa atribut Inovasi menurut Zaltman, diantaranya:
1.        Pembayaran
2.        Balik Modal
3.        Efisiensi
4.        Resiko dan ketidakpastian
5.        Mudah dikomunikasikan
6.        Kompatibilitas
7.        Status alamiah
8.        Kadar keaslian
9.        Dapat dilihat manfaatnya
10.    Dapat dilihat batas sebelumnya
11.    Keterlibatan sasaran perubahan
12.    Hubungan interpersonal
13.    Kepentingan umum atau pribadi
14.    Penyuluh inovasi.

Dari paparan materi di atas, ada beberapa pertanyaan yang dikemukakan audiens saat diskusi.
Pertanyaan pertama dari saudari Nurjanah adalah tentang hubungan antara lima faktor yang dikemukakan Everett M. Roggers kaitannya dengan proses cepat lamabatnya penerimaan inovasi. “Jika kelima faktor tersebut tidak ada salah satunya, bagaimana apakah inovasi tersebut akan terhambat atau tidak?”
Hani Nurazizah mengatakan bahwa kelima faktor keuntungan tersebut harus ada sehingga inovasi dapat diterima masyarakat. Jika salah satunya tidak ada, maka inovasi akan terhambat.
Saat itu Delia Delfiani mengatakan bahwa kelima faktor tersebut bukanlah merupakan satu kesatuan yang mutlak semuanya harus ada sehinga tidak terlau berpengaruh. Begitupun dengan pendapat Andi Permana Sutisna yang mengatakan bahwa kelima faktor yang dikemukakan Everett M. Roggers bukan merupakan syarat diterimanya inovasi, namun jika salah satunya tidak ada maka akan berpengaruh terhadap terhambatnya inovasi.
Dari pendapat Delia dan Andi, sebetulnya secara garis besar sama dengan apa yang saya pikirkan. Akhirnya pada saat proses diskusi, saya memberikan tanggapan bahwa saya hampir sependapat dengan Andi dan Delia. Pada intinya faktor penghambat dan pemercepat terjdinya inovasi yang lima itu memang bukan merupakan suatu kesatuan yang semuanya mutlak harus ada, sehingga menyebabkan jika salah satu tidak ada maka inovasi tidak akan terjadi atau akan sangat terhambat. Pemikiran saya tidaklah seperti itu. Saya rasa, jika salah satu faktor dari lima faktor tersebut  tidak ada (Misalkan hanya ada empat atau tiga, atau bahkan hanya ada satu saja) maka inovasi tetaplah akan terjadi. Asalkan salah satu faktor ada, maka inovasi bisa saja terjadi. Mengenai masalah terhambat atau tidaknya maka itu tergantung pada sasaran inovasinya sendiri. Jika inovasi yang ‘disuguhkan’ kepada masyarakat hanya memuat satu keuntungan saja, misalnya keuntungan relatif dan masyarakat tidak banyak memikirkan keuntungan lainnya karena dari sudut pandang keutungan relatif saja masyarakat sudah cukup puas dengan inovasi yang ‘disuguhkan’, maka inovasi pun dalam proses penerimaannya berlangsung mulus tanpa ada hambatan.
Setelah saya memaparkan pendapat demikian, saudari Iik Faiqotul Ulya menambahkan jawaban dan lebih sependapat dengan jawaban pemateri, bahwasannya jika tidak ada salah satunya maka inovasi akan menemui hambatan. Begitupun dengan Tira Widianti yang mengemukakan inovasi yang ada jika tidak mencakup lima faktor tersebut tetap saja akan menemui hambatan-hambatan di dalamnya, tidak akan berjalan dengan lancar.
Saat itu mulai terjadi sedikit perdebatan, dan saya tetap pada pendirian saya bahwa terhamabat atau tidaknya suatu inovasi itu tergantung dari sasaran inovasi itu sendiri dalam menyadari faktor-faktor yang lima tersebut. Saya mengatakan saya yakin masyarakat tidak banyak yang tahu tentang teori yang lima tersebut, sehingga jika hanya ada satu saja dari faktor yang lima tersebut dan masyarakat sudah cukup pro (cukup puas) dengan salah satu keuntungan dalam faktor tersbeut (misalkan saja keuntungan relatif dari inovasi lebih diterima masyarakat dan sudah cukup meyakinkan masyarakat) maka inovasi bisa saja diterima. Sehingga kesimpulannya tidak masalah selama salah satu faktor tersebut ada, maka inovasi akan tetap diterima hanya saja cepat atau lambatnya bukan tergantung pada jumlah berapa faktor keuntungan yang ada dalam inovasi tersebut, saya lebih menekankan pada seberapa besar keyakinan masyarakat terhadap faktor keuntungan yang ada. Sehingga tergantung pada sasaran inovasinya apakah mereka ‘melek’ terhadap keuntungan dari inovasi atau tidak. Jadi tidak masalah jika hanya ada empat saja, tiga saja, dua saja, atau bahkan satu saja. Inovasi akan tetap bisa diterima dan walau hanya satu bisa saja diterima dan tersebar dengan cepat, yang menjadi masalah itu justru jika inovasi yang ‘disuguhkan’ kepada masyarakat tidak memuat kelima faktor tersebut. Pun kebalikannya jika kelima faktor tersebut ada dalam inovasi, maka itu akan sangat bagus, menjadi peluang emas untuk semakin cepat diterimanya sebuah inovasi.
Setelah saya memberikan tanggapan, saudara saya Andi Permana Sutisna pun memberikan pengandaian yang sebetulnya lebih memperjelas apa yang telah saya jabarkan. Andi memberikan contoh ibaratkan inovasi tersebut adalah sebuah mobil dan faktor-faktor tersebut adalah mesin turbo. Jika mobil itu hanya diberi satu turbo maka mobil akan tetap sampai, namun akan lebih bagus jika mobil tersebut semakin banyak diberikan mesin turbonya, apalagi jika mesin turbonya ada lima maka akan semakin cepat mobil itu sampai.
Namun setelah diskusi berakhir, Andi meminta agar saya menjelaskan kembali tentang faktor yang dikemukakan Everett M. Roggers dengan atribut Inovasi yang dikemukakan oleh Zaltman. Akhirnya saya seperti menemukan hal yang ‘serupa tapi tak sama’. Pada dasarnya pendapat dari keduanya lebih kepada hal-hal yang menjadi faktor penyebab cepat atau lambatnya diterimanya suatu inovasi, namun ternyata ada perbedaan sudut pandang. Everett M. Roggers seolah melihat dari sudut pandang sasaran inovasi (masyarakat) sehingga yang diungkapkan lebih kepada masyarakat akan menerima inovasi “A” jika inovasi yang disuguhkan adalah sejalan dengan apa yang dibutuhkan, didambakan, dan difahami masyarakat. Sedangkan Zaltman menurut saya melihat dari sudut pandang keduanya, bukan hanya dari sasaran inovasi namun juga dari sudut pandang inovator itu sendiri, seperti pada poin terakhir dijelaskan bahwa penyuluhan itu sangat penting agar suatu inovasi bisa diterima oleh masyarakat.
Selanjutnya adalah pertanyaan dari Delia dan Nita. Delia menanyakan tentang upaya apa yang harus dilakukan agar inovasi bisa diterima masyarakat, dan Nita bertanya tentang cara agar masyarakat mau menerima sesuatu yang baru. Sebetulnya itu merupakan sebuah pertanyaan yang sama menurut saya.
Ketika itu, Ai Linda Nurmalasari sebagai pemateri memberikan jawaban yang mana pada intinya sebelum inovasi itu ditawarkan maka harus ada perencanaan yang jelas dulu agar segalanya lebih teratur. Seperti pada kurikulum 2013 yang saat ini sedang menjadi isu hangat dan merupakan sebuah contoh inovasi, maka itu tentnya harus ada perencanaan yang matang. Kurang lebih seperti itu menurut Ai Linda Nurmalasari.
Moderator pun memberi kesempatan kepada audiens untuk memberikan tambahan jawaban. Saat itu Delia yang bertindak sebagai penanya mungkin kurang puas dengan jawaban yang dipaparkan oleh Ai Linda, maka Delia kembali menegaskan bahwasannya yang dia harapkan jawabannya lebih kepada proses dan teknis untuk mempengaruhi masyarakat agar mau menerima inovasi. Kembali, moderator pun menyerahkan kepada audiens hingga akhirnya saya pun kembali menambahkan jawaban.
Entah saat itu jawaban saya bisa sesuai dengan apa yang diharapkan Delfia atau tidak, namun saya katakan apa yang ingin saya utarakan itu ada hubungannya dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh Nita. Sebelum sampai kepada pokok bahasan, saya mengatakan apa yang dikatakan Ai Linda ada benarnya juga. Bahwasannya di dalam segala sesuatu yang akan dilakukan harus ditetapkan terlebih dahulu tujuannya karena tujuan itu akan menjadi acuan atau indikator nantinya apakah yang diharapkan pada sesuatu yang telah dilakukan itu sudah tercapai atau belum. Lalu benar adanya harus ada perencanaan yang jelas. Perencanan ini merupakan bagian dari prinsip-prinsip manajemen secara umum. Jika dispesifikan dan dihubungkan dengan inovasi, maka akan ada manajemen perubahan seperti pada ilmu advokasi. Hanya tetap saja prinsip-prinsip yang dimabil adalah prinsip manajemen secara umum seperti yang dikatakan oleh salah seorang ahli manajerial G.R. Terry bahwa setidaknya sebelum melakukan sesuatu ada beberapa yang harus dipertimbangkan dan dilakukan. Diantaranya adalah Planning (perencanaan), Organizing (Pengorganisasian), Actuating (Penggerakan), dan Controlling (Pengawasan). Misalnya saja pada kurikulum 2013, maka sebelum kurikulum ini disahkan menjadi sebuah kebijakan pemerintah, pasti diawalnya telah dilakukan perencanaan terlebih dahulu (Planning). Kemudian M. Nuh menteri pendidikan membentuk sebuah tim khusus untuk merancang dan membahas kurikulum 2013 ini (Organizing). Selanjutnya elemen-elemen dan orang-orang yang ditunjuk tersebut bergerak/bekerja sesuai dengan jobdesknya masing-masing dibawah komando menteri pendidikan (Actuating), dan terakhir dilakukan pengawasan apakah kurikulum 2013 ini berjalan cukup baik atau masih perlu  ada perbaikan untuk kedepannya (Controlling).
Lalu sedikit menyoroti salah satu atribut inovasi yang dikemukakan oleh Zaltman, yaitu penyuluhan. Dalam penyuluhan ini tentunya ada proses saling mempengaruhi atau dalam ilmu advokasi dikenal dengan istilah “Lobbiying”. Berdasarkan hasil PLKM 2013 (Pendidikan dan Latihan Kepemimpinan Mahasiswa 2013)  yang telah saya dapatkan di UPI kampus Bumi Siliwangi, salah seorang pemateri tentang advokasi menyebutkan empat hal yang menjadi kunci keberhasilan proses Lobbiying tersebut, diantaranya:
1.        Berpenampilan menarik
Jika ingin menerapkan pengaruh/faham terhadap orang lain, maka yang harus dilakukan adalah berpenampilan menarik. Menarik di sini dalam artian adalah rapi dan terlihat sopan serta menyenangkan.
2.        Tidak mudah tersinggung
Untuk mengajak orang lain menerima konsep, faham, atau hal apapun yang dibawa terutama hal yang baru maka kita selaku penggagas atau yang menawarkan konsep tersebut tidak boleh mudah tersinggung dan berputus asa.
3.        Cara kerja
Bagaimana kita bekerja, dan dedikasi kita terhadap pekerjaan akan berpengaruh juga terhadap penerimaan orang lain akan perubahan/inovasi yang kita tawarkan.
4.        Jaringan/relasi
Semakin banyak jaringan/relasi maka akan semakin mudah untuk kita menyebarluaskan inovasi yang kita bawa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar