NAMA : HAFNI
KELAS : 2-A
KARAKTERISTIK
INOVASI PENDIDIKAN
Diskusi
kedua mata kuliah Inovasi Pendidikan pada Hari Selasa, 17 September 2013
membahas tentang “Karakteristik Inovasi
Pendidikan”. Materi yang didapat dari hasil diskusi tersebut adalah
faktor-faktor keuntungan yang mempengaruhi cepat lambatnya proses inovasi
diterima oleh masyarakat yang dikemukakan oleh Everett M. Roggers serta atribut
Inovasi yang dikemukakan oleh Zaltman.
Setidaknya
ada lima faktor yang mempengaruhi cepat atau tidaknya inovasi diterima dan
tersebar di masyarakat. Diantaranya:
1.
Keuntungan relatif
Makin
menguntungkan suatu inovasi bagi penerima maka makin cepat inovasi itu
tersebar.
2.
Kompetibel
Makin sesuai
inovasi dengan nilai pengalaman lalu, dan makin sesuai dengan kebutuhan
penerima, maka makin cepat pula inovasi tersebut tersebat.
3.
Kompleksitas
Semakin inovasi
itu mudah dimengerti masyarakat, maka masyarakat akan lebih cepat menerimanya
dan inovasi tersebut akan semakin cepat tersebar.
4.
Triabilitas
Jika suatu novasi
dicoba maka ada kecenderungan inovasi tersebut diterima dan cepat tersebar di
kalangan masyarakat.
5.
Dapat diamati
Semakin inovasi
mudah diamati masyarakat, maka akan semakin mudah difahami sehingga pada
akhirnya mudah diterima dan tersebar di masyarakat.
Sementara
itu dipaparkan beberapa atribut Inovasi menurut Zaltman, diantaranya:
1.
Pembayaran
2.
Balik Modal
3.
Efisiensi
4.
Resiko dan ketidakpastian
5.
Mudah dikomunikasikan
6.
Kompatibilitas
7.
Status alamiah
8.
Kadar keaslian
9.
Dapat dilihat manfaatnya
10.
Dapat dilihat batas sebelumnya
11.
Keterlibatan sasaran perubahan
12.
Hubungan interpersonal
13.
Kepentingan umum atau pribadi
14.
Penyuluh inovasi.
Dari
paparan materi di atas, ada beberapa pertanyaan yang dikemukakan audiens saat
diskusi.
Pertanyaan
pertama dari saudari Nurjanah adalah tentang hubungan antara lima faktor yang
dikemukakan Everett M. Roggers kaitannya dengan proses cepat lamabatnya
penerimaan inovasi. “Jika kelima faktor tersebut tidak ada salah satunya,
bagaimana apakah inovasi tersebut akan terhambat atau tidak?”
Hani
Nurazizah mengatakan bahwa kelima faktor keuntungan tersebut harus ada sehingga
inovasi dapat diterima masyarakat. Jika salah satunya tidak ada, maka inovasi
akan terhambat.
Saat
itu Delia Delfiani mengatakan bahwa kelima faktor tersebut bukanlah merupakan
satu kesatuan yang mutlak semuanya harus ada sehinga tidak terlau berpengaruh.
Begitupun dengan pendapat Andi Permana Sutisna yang mengatakan bahwa kelima
faktor yang dikemukakan Everett M. Roggers bukan merupakan syarat diterimanya
inovasi, namun jika salah satunya tidak ada maka akan berpengaruh terhadap
terhambatnya inovasi.
Dari
pendapat Delia dan Andi, sebetulnya secara garis besar sama dengan apa yang
saya pikirkan. Akhirnya pada saat proses diskusi, saya memberikan tanggapan
bahwa saya hampir sependapat dengan Andi dan Delia. Pada intinya faktor
penghambat dan pemercepat terjdinya inovasi yang lima itu memang bukan
merupakan suatu kesatuan yang semuanya mutlak harus ada, sehingga menyebabkan
jika salah satu tidak ada maka inovasi tidak akan terjadi atau akan sangat
terhambat. Pemikiran saya tidaklah seperti itu. Saya rasa, jika salah satu
faktor dari lima faktor tersebut tidak
ada (Misalkan hanya ada empat atau tiga, atau bahkan hanya ada satu saja) maka
inovasi tetaplah akan terjadi. Asalkan salah satu faktor ada, maka inovasi bisa
saja terjadi. Mengenai masalah terhambat atau tidaknya maka itu tergantung pada
sasaran inovasinya sendiri. Jika inovasi yang ‘disuguhkan’ kepada masyarakat
hanya memuat satu keuntungan saja, misalnya keuntungan relatif dan masyarakat
tidak banyak memikirkan keuntungan lainnya karena dari sudut pandang keutungan
relatif saja masyarakat sudah cukup puas dengan inovasi yang ‘disuguhkan’, maka
inovasi pun dalam proses penerimaannya berlangsung mulus tanpa ada hambatan.
Setelah
saya memaparkan pendapat demikian, saudari Iik Faiqotul Ulya menambahkan
jawaban dan lebih sependapat dengan jawaban pemateri, bahwasannya jika tidak
ada salah satunya maka inovasi akan menemui hambatan. Begitupun dengan Tira
Widianti yang mengemukakan inovasi yang ada jika tidak mencakup lima faktor
tersebut tetap saja akan menemui hambatan-hambatan di dalamnya, tidak akan
berjalan dengan lancar.
Saat
itu mulai terjadi sedikit perdebatan, dan saya tetap pada pendirian saya bahwa
terhamabat atau tidaknya suatu inovasi itu tergantung dari sasaran inovasi itu
sendiri dalam menyadari faktor-faktor yang lima tersebut. Saya mengatakan saya
yakin masyarakat tidak banyak yang tahu tentang teori yang lima tersebut,
sehingga jika hanya ada satu saja dari faktor yang lima tersebut dan masyarakat
sudah cukup pro (cukup puas) dengan salah satu keuntungan dalam faktor tersbeut
(misalkan saja keuntungan relatif dari inovasi lebih diterima masyarakat dan
sudah cukup meyakinkan masyarakat) maka inovasi bisa saja diterima. Sehingga
kesimpulannya tidak masalah selama salah satu faktor tersebut ada, maka inovasi
akan tetap diterima hanya saja cepat atau lambatnya bukan tergantung pada
jumlah berapa faktor keuntungan yang ada dalam inovasi tersebut, saya lebih
menekankan pada seberapa besar keyakinan masyarakat terhadap faktor keuntungan
yang ada. Sehingga tergantung pada sasaran inovasinya apakah mereka ‘melek’
terhadap keuntungan dari inovasi atau tidak. Jadi tidak masalah jika hanya ada
empat saja, tiga saja, dua saja, atau bahkan satu saja. Inovasi akan tetap bisa
diterima dan walau hanya satu bisa saja diterima dan tersebar dengan cepat,
yang menjadi masalah itu justru jika inovasi yang ‘disuguhkan’ kepada
masyarakat tidak memuat kelima faktor tersebut. Pun kebalikannya jika kelima
faktor tersebut ada dalam inovasi, maka itu akan sangat bagus, menjadi peluang
emas untuk semakin cepat diterimanya sebuah inovasi.
Setelah
saya memberikan tanggapan, saudara saya Andi Permana Sutisna pun memberikan
pengandaian yang sebetulnya lebih memperjelas apa yang telah saya jabarkan.
Andi memberikan contoh ibaratkan inovasi tersebut adalah sebuah mobil dan
faktor-faktor tersebut adalah mesin turbo. Jika mobil itu hanya diberi satu
turbo maka mobil akan tetap sampai, namun akan lebih bagus jika mobil tersebut
semakin banyak diberikan mesin turbonya, apalagi jika mesin turbonya ada lima
maka akan semakin cepat mobil itu sampai.
Namun
setelah diskusi berakhir, Andi meminta agar saya menjelaskan kembali tentang
faktor yang dikemukakan Everett M. Roggers dengan atribut Inovasi yang
dikemukakan oleh Zaltman. Akhirnya saya seperti menemukan hal yang ‘serupa tapi
tak sama’. Pada dasarnya pendapat dari keduanya lebih kepada hal-hal yang
menjadi faktor penyebab cepat atau lambatnya diterimanya suatu inovasi, namun
ternyata ada perbedaan sudut pandang. Everett M. Roggers seolah melihat dari
sudut pandang sasaran inovasi (masyarakat) sehingga yang diungkapkan lebih
kepada masyarakat akan menerima inovasi “A” jika inovasi yang disuguhkan adalah
sejalan dengan apa yang dibutuhkan, didambakan, dan difahami masyarakat.
Sedangkan Zaltman menurut saya melihat dari sudut pandang keduanya, bukan hanya
dari sasaran inovasi namun juga dari sudut pandang inovator itu sendiri,
seperti pada poin terakhir dijelaskan bahwa penyuluhan itu sangat penting agar
suatu inovasi bisa diterima oleh masyarakat.
Selanjutnya
adalah pertanyaan dari Delia dan Nita. Delia menanyakan tentang upaya apa yang
harus dilakukan agar inovasi bisa diterima masyarakat, dan Nita bertanya
tentang cara agar masyarakat mau menerima sesuatu yang baru. Sebetulnya itu
merupakan sebuah pertanyaan yang sama menurut saya.
Ketika
itu, Ai Linda Nurmalasari sebagai pemateri memberikan jawaban yang mana pada
intinya sebelum inovasi itu ditawarkan maka harus ada perencanaan yang jelas
dulu agar segalanya lebih teratur. Seperti pada kurikulum 2013 yang saat ini
sedang menjadi isu hangat dan merupakan sebuah contoh inovasi, maka itu tentnya
harus ada perencanaan yang matang. Kurang lebih seperti itu menurut Ai Linda Nurmalasari.
Moderator
pun memberi kesempatan kepada audiens untuk memberikan tambahan jawaban. Saat
itu Delia yang bertindak sebagai penanya mungkin kurang puas dengan jawaban
yang dipaparkan oleh Ai Linda, maka Delia kembali menegaskan bahwasannya yang
dia harapkan jawabannya lebih kepada proses dan teknis untuk mempengaruhi
masyarakat agar mau menerima inovasi. Kembali, moderator pun menyerahkan kepada
audiens hingga akhirnya saya pun kembali menambahkan jawaban.
Entah
saat itu jawaban saya bisa sesuai dengan apa yang diharapkan Delfia atau tidak,
namun saya katakan apa yang ingin saya utarakan itu ada hubungannya dengan
pertanyaan yang dilontarkan oleh Nita. Sebelum sampai kepada pokok bahasan,
saya mengatakan apa yang dikatakan Ai Linda ada benarnya juga. Bahwasannya di dalam
segala sesuatu yang akan dilakukan harus ditetapkan terlebih dahulu tujuannya
karena tujuan itu akan menjadi acuan atau indikator nantinya apakah yang
diharapkan pada sesuatu yang telah dilakukan itu sudah tercapai atau belum.
Lalu benar adanya harus ada perencanaan yang jelas. Perencanan ini merupakan
bagian dari prinsip-prinsip manajemen secara umum. Jika dispesifikan dan
dihubungkan dengan inovasi, maka akan ada manajemen perubahan seperti pada ilmu
advokasi. Hanya tetap saja prinsip-prinsip yang dimabil adalah prinsip
manajemen secara umum seperti yang dikatakan oleh salah seorang ahli manajerial
G.R. Terry bahwa setidaknya sebelum melakukan sesuatu ada beberapa yang harus
dipertimbangkan dan dilakukan. Diantaranya adalah Planning (perencanaan), Organizing
(Pengorganisasian), Actuating
(Penggerakan), dan Controlling
(Pengawasan). Misalnya saja pada kurikulum 2013, maka sebelum kurikulum ini
disahkan menjadi sebuah kebijakan pemerintah, pasti diawalnya telah dilakukan
perencanaan terlebih dahulu (Planning).
Kemudian M. Nuh menteri pendidikan membentuk sebuah tim khusus untuk merancang
dan membahas kurikulum 2013 ini (Organizing).
Selanjutnya elemen-elemen dan orang-orang yang ditunjuk tersebut
bergerak/bekerja sesuai dengan jobdesknya
masing-masing dibawah komando menteri pendidikan (Actuating), dan terakhir dilakukan pengawasan apakah kurikulum 2013
ini berjalan cukup baik atau masih perlu
ada perbaikan untuk kedepannya (Controlling).
Lalu
sedikit menyoroti salah satu atribut inovasi yang dikemukakan oleh Zaltman,
yaitu penyuluhan. Dalam penyuluhan ini tentunya ada proses saling mempengaruhi
atau dalam ilmu advokasi dikenal dengan istilah “Lobbiying”. Berdasarkan hasil PLKM 2013 (Pendidikan dan Latihan
Kepemimpinan Mahasiswa 2013) yang telah
saya dapatkan di UPI kampus Bumi Siliwangi, salah seorang pemateri tentang
advokasi menyebutkan empat hal yang menjadi kunci keberhasilan proses Lobbiying
tersebut, diantaranya:
1.
Berpenampilan menarik
Jika ingin menerapkan
pengaruh/faham terhadap orang lain, maka yang harus dilakukan adalah
berpenampilan menarik. Menarik di sini dalam artian adalah rapi dan terlihat
sopan serta menyenangkan.
2.
Tidak mudah tersinggung
Untuk mengajak orang lain menerima
konsep, faham, atau hal apapun yang dibawa terutama hal yang baru maka kita
selaku penggagas atau yang menawarkan konsep tersebut tidak boleh mudah
tersinggung dan berputus asa.
3.
Cara kerja
Bagaimana kita bekerja, dan
dedikasi kita terhadap pekerjaan akan berpengaruh juga terhadap penerimaan
orang lain akan perubahan/inovasi yang kita tawarkan.
4.
Jaringan/relasi
Semakin banyak jaringan/relasi maka
akan semakin mudah untuk kita menyebarluaskan inovasi yang kita bawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar