Senin, 29 Desember 2014

Resume Pembelajaran: Proses Keputusan Inovasi



NAMA   : HAFNI
KELAS   : 2-A

PROSES KEPUTUSAN INOVASI
Dari hasil diskusi tanggal 01 Oktober 2013, dipaparkan tentang proses keputusan Inovasi yang menurut Rogers (dalam Sa’ud : 2008) terdiri dari 5 tahap, yaitu : (1) tahap pengetahuan, (2) tahap bujukan, (3) tahap keputusan, (4) tahap implementasi, (5) tahap konfirmasi.
Dari kelima tahapan yang dikemukakan Rogers, yang telah dijelaskan oleh pemateri, ada beberapa pertanyaan dari audiens.
Pertanyaan pertama adalah tentang perbandingan kelima tahapan tersebut. Manakah tahapan yang paling besar peranannya dalam menentukan kegagalan keputusan diterimanya suatu inovasi. Pertanyaan tersebut dikemukakan oleh Andi Permana Sutisna, absen 06 “Di bagian mana dari kelima tahapan tersebut yang paling besar kemungkinan gagalnya inovasi tersebut diterima?”.
Nurul Awallina, sebagai pemateri saat itu mengemukakan, mengutip dari Sa’ud (2008), bahwa dalam kenyataannya pada setiap tahap dalam proses keputusan inovasi dapat terjadi penolakan inovasi. Mislanya penolakan dapat terjadi pada awal tahap pengetahuan, dapat juga terjadi pada tahap persuasi, mungkin juga terjadi setelah konfirmasi, dan sebagaianya.
Namun Nurul Awallina saat itu mengemukakan bahwa tahap bujukan, tahap keputusan, serta tahap konfirmasi lebih menyebabkan seseorang kemungkinan besar gagal dalam memutuskan menerima inovasi.
Alasannya karena pada tahap bujukan itu berhubungan dengan perasaan senang atau tidak senangnya orang tersebut terhadap inovasi, sehingga bisa jadi inovasi tersebut diputuskan untuk tidak diterima. Lalu pada tahap keputusan, ketika seseorang memutuskan tentu dua pilihannya adalah diterima dan tidak diterima sehingga kemungkinan besar juga inovasi tersebut tidak diterima Kemudian tahap konfirmasi, tahap konfirmasi ini seseorang memikirkan kembali dan memberikan penguatan terhadap jawaban yang telah diambilnya sehingga bisa saja dia memutuskan untuk benar-benar tidak menerima inovasi tersebut.
Namun menurut saya, hal yang lebih menentukan adalah pada tahap bujukan. Sa’ud (2008:37) sendiri mengatakan dalam bukunya bahwa dalam tahap persuasi ini lebih banyak keaktifan mental yang memegang peran. Seseorang akan berusaha mengetahui lebih banyak tentang inovasi dan menafsirkan informasi yang diterimanya. Pada tahap ini berlangsung seleksi informasi disesuaikan dengan kondisi dan sifat pribadinya. Di sinilah peranan karakteristik inovasi dalam mempengaruhi proses keputusan inovasi.
Jadi menurut saya, karena di dalam proses bujukan ini begitu membutuhkan keaktifan mental, serta pada tahap ini seseorang akan lebih banyak mencari tahu tentang inovasi tersebut dan menafsirkan informasi yang diterimanya, maka ketika semakin banyak informasi tersebut dia terima, semakin pula dia akan memutuskan untuk menerima inovasi, namun tentu ada syaratnya yaitu jika inovasi yang ada tersebut sesuai dengan kondisi dan sifat pribadinya. Dan sebaliknya, jika informasi yang didapat tentang inovasi tersebut minim serta inovasi tersebut tidak sesuai dengan kondisi dan sifat pribadinya, maka kemungkinan besar inovasi gagal untuk diterima. Sehingga menurut saya tahapan inilah yang paling menentukan.
Ibaratkan tahapan ini adalah yang memberikan masukan dasar sebelum seseorang mengambil keputusan untuk menerima atau tidak suatu inovasi.
Selanjutnya adalah pertanyaan yang kedua dari Enok Erin Ratna Riyani yang bertanya, “Mengapa kebanggaan akan inovasi yang dimiliki oleh suatu daerah tertentu dapat menimbulkan reinvensi? Bagaimana contohnya? Serta reinvensi itu apa”
Amelia Pratiwi selaku penyaji menjawab, karena misalkan jika suatu daerah mempunyai suatu inovasi bahwa ada contohnya suatu daerah yang memiliki inovasi dan inovasi tersebut berhasil kemudian membuat daerah tersebut bangga, sehingga karena kebanggaannya itu daerah tersebut tidak mau lagi menerima inovasi dari yang lain.
Saat itu saya menangkap bahwa reinvensi berarti sebuah proses tidak diterimanya suatu invensi. Maka mindset saya mengarah pada sebuah contoh tentang suatu daerah yang membuat sebuah invensi, kemudian daerah tersebut bangga dengan invensinya sehingga tidak mau lagi menerima invensi dari daerah lain.
Namun kemudian Nurul Awallina menambahkan, bahwa reinvensi di sini juga artinya adalah penemuan kembali sesuatu yang baru. Jadi jika sudah ada sesuatu yang benar-benar baru ditemukan, kemudian dilakukan kembali penemuan baru dari sesuatu tersebut, maka itu disebut reinvensi.
Dari paparan Nurul Awallina, saya sedikit tersadarkan bahwa reinvensi yang dikemukakan oleh Amel dan Nurul Awallina berbeda, sehingga saya ikut menambahkan, meberikan contoh dari kebanggan tersebut misalnya saja di daerah Jakarta, karena di kawasan sana banyak mahasiswa lulusan Universitas Indonesia dan Institut Pertanian Bogor, kemudian para mahasiswa tersebut menemukan sebuah inovasi berupa alat penyulingan air minum, dari air mentah disuling sehingga menjadi air matang dengan alat penyulingannya yaitu berupa batu-batuan. Maka misalkan warga Jakarta bangga dengan alat/inovasi tersebut. Kemudian ada warga dari Jogjakarta yang kemudian menyempurnakan inovasi tersebut sehingga inovasi tersebut menjadi lebih baru (reinvensi) seperti proses penyulingan air mineral, namun tidak dari bebatuan melainkan dengan alat teknologi. Sehingga terjadilah reinvensi karena ada suatu perasaan ketidak sesuaian dari warga Jogja terhadap alat penyulingan air mineral yang dibuat oleh warga Jakarta.
Namun setelah saya paparkan kata reinvensi di sini ternyata masih belum dapat dipahami oleh saya dan teman-teman sekelas, berkaitan dengan kurang jelasnya kalimat-kalimat dalam paragraf terakhir halaman 39 pada buku karangan Udin Syaefudin Sa’ud. Alasannya karena seolah-olah konteks kalimat tersebut samar. Maka setelah berdiskusi lagi dengan beberapa teman-teman di kelas, sambil melakukan searching juga, ternyata kalimat tersebut memaparkan tentang penyebab terjadinya reinvensi.
Dan setelah saya menuliskan resume diskusi ini, saya menjadi terpikirkan bahwa contoh yang saya paparkan di kelas itu kurang tepat. Pasalnya jika kalimatnya “Kebanggan akan inovasi yang dimliki oleh suatu daerah tertentu juga dapat menimbulkan reinvensi”. Berarti reinvensi yang terjadi harus juga berasal dari daerah yang sama ketika invensi itu muncul.
Jadi begini maksud saya, saking bangganya daerah tersebut terhadap inovasi (invensi) yang telah diciptakannya, maka orang-orang di daerah tersebut berusaha sedemikian rupa untuk semakin menyempurnakan kembali penemuan tersebut. Sehingga contohnya saya ubah menjadi ketika warga Jakarta menemukan alat penyulingan air dari bebeatuan, dan seluruh warga Jakarta bangga dengan alat tersebut, maka saking bangganya akhirnya mereka mempunyai keinginan untuk menyempurnakan alat penyulingan tersebut yang dari pemikiran untuk menyempurnakan itu terciptalah alat penyulingan air dengan teknologi canggih.
Pertanyaan terakhir adalah pertanyaan dari Rani, “Apa kira-kira alasan seseorang melakukan penolakan pasif?”.
Irwan mennjawab bahwa alasannya adalah karena orang tersebut tidak mempertimbangkan terlebih dahulu inovasi yang ada.
Adalah sebuah hal yang bolak-balik, karena ternyata yang dikemukakan oleh Irwan bukan merupakan sebuah jawaban, melainkan suatu definisi. Sehingga apa yang diutarakan oleh Irwan tersebut dipertanyakan kembali oleh Delia. Saat itu Nurul Awallina kembali menjawab, bisa saja orang tersebut memberikan penolakan pasif karena inovasi yang ada tidak sesuai dengan sifat dan karakteristik orang tersebut.
Saya memberikan tambahan, mungkin saja orang tersebut kurang faham terhadap inovasi yang dihadirkan. Jadi pengetahuan orang tersebut terhadap inovasi yang dihadirkan kurang. Lalu bisa jadi orang tersebut berasal dari masyarakat tradisional yang kurang terbuka terhadap hal-hal baru sehingga tanpa memberi pertimbangan orang tersebut langsung menolak inovasi.
Namun apa yang saya sampaikan itu ternyata disanggah oleh Habibah, menurutnya tidak mungkin kalau orang tersebut merupakan orang tradisional yang tidak mau terbuka terhadap hal-hal baru. Karena sebelum sampai kepada tahap penolakan, sebelumnya orang tersebut telah melewati tahap pengetahuan dan bujukan, sehingga sampai di dua tahap itu pun orang tersebut artinya sudah mau untuk menerima hal baru.
Apa yang disampaikan oleh Habibah menurut saya ada benarnya juga. Maka saya pikir orang menolak karena inovasi tersebut tidak sesuai dengan sifat, karakterisitik, kepribadian, dan kegemaran orang tersebut.
Misalkan saja saya mencontohkan dengan Multi Level Marketing (MLM) itu merupakan sebuah terobosan, inovasi dalam proses pemasaran. Ketika ada seseorang yang menawarkan kepada saya, agar saya mau mengikuti MLM maka saya mendengarkan pemaparan orang yang mengajak saya untuk bergabung pada MLM tersebut hanya untuk menghargai dan mengetahui setidaknya gambaran umum MLM itu seperti apa tanpa memikirkan dan mempertimbangkannya lebih lanjut. Sehingga tanpa berpikir panjang saya akan menolak MLM tersebut karena pada pasalnya saya tidak suka dengan kegiatan berdagang, karena kegemaran saya adalah menulis. Itulah contoh penolakan pasif.
Namun berbeda situasinya jika saya setelah mendengarkan pemaparan tentang MLM tersebut langsung memikirkan, mempertimbangkan, dan memperhitungkan keuntungan dan kekurangannya, dan ternyata saya lebih banyak menemukan kekurangannya dalam MLM tersebut sehingga saya menolaknya, maka itulah penolakan aktif.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar