NAMA : HAFNI
KELAS : 2-A
PROSES
KEPUTUSAN INOVASI
Dari
hasil diskusi tanggal 01 Oktober 2013, dipaparkan tentang proses keputusan
Inovasi yang menurut Rogers (dalam Sa’ud : 2008) terdiri dari 5 tahap, yaitu :
(1) tahap pengetahuan, (2) tahap bujukan, (3) tahap keputusan, (4) tahap
implementasi, (5) tahap konfirmasi.
Dari
kelima tahapan yang dikemukakan Rogers, yang telah dijelaskan oleh pemateri,
ada beberapa pertanyaan dari audiens.
Pertanyaan
pertama adalah tentang perbandingan kelima tahapan tersebut. Manakah tahapan
yang paling besar peranannya dalam menentukan kegagalan keputusan diterimanya
suatu inovasi. Pertanyaan tersebut dikemukakan oleh Andi Permana Sutisna, absen
06 “Di bagian mana dari kelima tahapan tersebut yang paling besar kemungkinan
gagalnya inovasi tersebut diterima?”.
Nurul
Awallina, sebagai pemateri saat itu mengemukakan, mengutip dari Sa’ud (2008),
bahwa dalam kenyataannya pada setiap tahap dalam proses keputusan inovasi dapat
terjadi penolakan inovasi. Mislanya penolakan dapat terjadi pada awal tahap
pengetahuan, dapat juga terjadi pada tahap persuasi, mungkin juga terjadi
setelah konfirmasi, dan sebagaianya.
Namun
Nurul Awallina saat itu mengemukakan bahwa tahap bujukan, tahap keputusan,
serta tahap konfirmasi lebih menyebabkan seseorang kemungkinan besar gagal
dalam memutuskan menerima inovasi.
Alasannya
karena pada tahap bujukan itu berhubungan dengan perasaan senang atau tidak
senangnya orang tersebut terhadap inovasi, sehingga bisa jadi inovasi tersebut
diputuskan untuk tidak diterima. Lalu pada tahap keputusan, ketika seseorang
memutuskan tentu dua pilihannya adalah diterima dan tidak diterima sehingga
kemungkinan besar juga inovasi tersebut tidak diterima Kemudian tahap
konfirmasi, tahap konfirmasi ini seseorang memikirkan kembali dan memberikan
penguatan terhadap jawaban yang telah diambilnya sehingga bisa saja dia
memutuskan untuk benar-benar tidak menerima inovasi tersebut.
Namun
menurut saya, hal yang lebih menentukan adalah pada tahap bujukan. Sa’ud
(2008:37) sendiri mengatakan dalam bukunya bahwa dalam tahap persuasi ini lebih
banyak keaktifan mental yang memegang peran. Seseorang akan berusaha mengetahui
lebih banyak tentang inovasi dan menafsirkan informasi yang diterimanya. Pada
tahap ini berlangsung seleksi informasi disesuaikan dengan kondisi dan sifat
pribadinya. Di sinilah peranan karakteristik inovasi dalam mempengaruhi proses
keputusan inovasi.
Jadi
menurut saya, karena di dalam proses bujukan ini begitu membutuhkan keaktifan
mental, serta pada tahap ini seseorang akan lebih banyak mencari tahu tentang
inovasi tersebut dan menafsirkan informasi yang diterimanya, maka ketika
semakin banyak informasi tersebut dia terima, semakin pula dia akan memutuskan
untuk menerima inovasi, namun tentu ada syaratnya yaitu jika inovasi yang ada
tersebut sesuai dengan kondisi dan sifat pribadinya. Dan sebaliknya, jika
informasi yang didapat tentang inovasi tersebut minim serta inovasi tersebut
tidak sesuai dengan kondisi dan sifat pribadinya, maka kemungkinan besar inovasi
gagal untuk diterima. Sehingga menurut saya tahapan inilah yang paling
menentukan.
Ibaratkan
tahapan ini adalah yang memberikan masukan dasar sebelum seseorang mengambil
keputusan untuk menerima atau tidak suatu inovasi.
Selanjutnya
adalah pertanyaan yang kedua dari Enok Erin Ratna Riyani yang bertanya,
“Mengapa kebanggaan akan inovasi yang dimiliki oleh suatu daerah tertentu dapat
menimbulkan reinvensi? Bagaimana contohnya? Serta reinvensi itu apa”
Amelia
Pratiwi selaku penyaji menjawab, karena misalkan jika suatu daerah mempunyai
suatu inovasi bahwa ada contohnya suatu daerah yang memiliki inovasi dan
inovasi tersebut berhasil kemudian membuat daerah tersebut bangga, sehingga
karena kebanggaannya itu daerah tersebut tidak mau lagi menerima inovasi dari
yang lain.
Saat
itu saya menangkap bahwa reinvensi berarti sebuah proses tidak diterimanya
suatu invensi. Maka mindset saya
mengarah pada sebuah contoh tentang suatu daerah yang membuat sebuah invensi,
kemudian daerah tersebut bangga dengan invensinya sehingga tidak mau lagi
menerima invensi dari daerah lain.
Namun
kemudian Nurul Awallina menambahkan, bahwa reinvensi di sini juga artinya
adalah penemuan kembali sesuatu yang baru. Jadi jika sudah ada sesuatu yang
benar-benar baru ditemukan, kemudian dilakukan kembali penemuan baru dari
sesuatu tersebut, maka itu disebut reinvensi.
Dari
paparan Nurul Awallina, saya sedikit tersadarkan bahwa reinvensi yang
dikemukakan oleh Amel dan Nurul Awallina berbeda, sehingga saya ikut menambahkan,
meberikan contoh dari kebanggan tersebut misalnya saja di daerah Jakarta,
karena di kawasan sana banyak mahasiswa lulusan Universitas Indonesia dan
Institut Pertanian Bogor, kemudian para mahasiswa tersebut menemukan sebuah
inovasi berupa alat penyulingan air minum, dari air mentah disuling sehingga
menjadi air matang dengan alat penyulingannya yaitu berupa batu-batuan. Maka
misalkan warga Jakarta bangga dengan alat/inovasi tersebut. Kemudian ada warga
dari Jogjakarta yang kemudian menyempurnakan inovasi tersebut sehingga inovasi
tersebut menjadi lebih baru (reinvensi) seperti proses penyulingan air mineral,
namun tidak dari bebatuan melainkan dengan alat teknologi. Sehingga terjadilah
reinvensi karena ada suatu perasaan ketidak sesuaian dari warga Jogja terhadap
alat penyulingan air mineral yang dibuat oleh warga Jakarta.
Namun
setelah saya paparkan kata reinvensi di sini ternyata masih belum dapat
dipahami oleh saya dan teman-teman sekelas, berkaitan dengan kurang jelasnya
kalimat-kalimat dalam paragraf terakhir halaman 39 pada buku karangan Udin
Syaefudin Sa’ud. Alasannya karena seolah-olah konteks kalimat tersebut samar.
Maka setelah berdiskusi lagi dengan beberapa teman-teman di kelas, sambil
melakukan searching juga, ternyata kalimat tersebut memaparkan tentang penyebab
terjadinya reinvensi.
Dan
setelah saya menuliskan resume diskusi ini, saya menjadi terpikirkan bahwa
contoh yang saya paparkan di kelas itu kurang tepat. Pasalnya jika kalimatnya
“Kebanggan akan inovasi yang dimliki oleh suatu daerah tertentu juga dapat
menimbulkan reinvensi”. Berarti reinvensi yang terjadi harus juga berasal dari
daerah yang sama ketika invensi itu muncul.
Jadi
begini maksud saya, saking bangganya daerah tersebut terhadap inovasi (invensi)
yang telah diciptakannya, maka orang-orang di daerah tersebut berusaha
sedemikian rupa untuk semakin menyempurnakan kembali penemuan tersebut.
Sehingga contohnya saya ubah menjadi ketika warga Jakarta menemukan alat
penyulingan air dari bebeatuan, dan seluruh warga Jakarta bangga dengan alat
tersebut, maka saking bangganya akhirnya mereka mempunyai keinginan untuk
menyempurnakan alat penyulingan tersebut yang dari pemikiran untuk
menyempurnakan itu terciptalah alat penyulingan air dengan teknologi canggih.
Pertanyaan
terakhir adalah pertanyaan dari Rani, “Apa kira-kira alasan seseorang melakukan
penolakan pasif?”.
Irwan
mennjawab bahwa alasannya adalah karena orang tersebut tidak mempertimbangkan
terlebih dahulu inovasi yang ada.
Adalah
sebuah hal yang bolak-balik, karena ternyata yang dikemukakan oleh Irwan bukan
merupakan sebuah jawaban, melainkan suatu definisi. Sehingga apa yang
diutarakan oleh Irwan tersebut dipertanyakan kembali oleh Delia. Saat itu Nurul
Awallina kembali menjawab, bisa saja orang tersebut memberikan penolakan pasif
karena inovasi yang ada tidak sesuai dengan sifat dan karakteristik orang
tersebut.
Saya
memberikan tambahan, mungkin saja orang tersebut kurang faham terhadap inovasi
yang dihadirkan. Jadi pengetahuan orang tersebut terhadap inovasi yang
dihadirkan kurang. Lalu bisa jadi orang tersebut berasal dari masyarakat
tradisional yang kurang terbuka terhadap hal-hal baru sehingga tanpa memberi
pertimbangan orang tersebut langsung menolak inovasi.
Namun
apa yang saya sampaikan itu ternyata disanggah oleh Habibah, menurutnya tidak
mungkin kalau orang tersebut merupakan orang tradisional yang tidak mau terbuka
terhadap hal-hal baru. Karena sebelum sampai kepada tahap penolakan, sebelumnya
orang tersebut telah melewati tahap pengetahuan dan bujukan, sehingga sampai di
dua tahap itu pun orang tersebut artinya sudah mau untuk menerima hal baru.
Apa
yang disampaikan oleh Habibah menurut saya ada benarnya juga. Maka saya pikir
orang menolak karena inovasi tersebut tidak sesuai dengan sifat,
karakterisitik, kepribadian, dan kegemaran orang tersebut.
Misalkan
saja saya mencontohkan dengan Multi Level Marketing (MLM) itu merupakan sebuah
terobosan, inovasi dalam proses pemasaran. Ketika ada seseorang yang menawarkan
kepada saya, agar saya mau mengikuti MLM maka saya mendengarkan pemaparan orang
yang mengajak saya untuk bergabung pada MLM tersebut hanya untuk menghargai dan
mengetahui setidaknya gambaran umum MLM itu seperti apa tanpa memikirkan dan
mempertimbangkannya lebih lanjut. Sehingga tanpa berpikir panjang saya akan
menolak MLM tersebut karena pada pasalnya saya tidak suka dengan kegiatan
berdagang, karena kegemaran saya adalah menulis. Itulah contoh penolakan pasif.
Namun
berbeda situasinya jika saya setelah mendengarkan pemaparan tentang MLM
tersebut langsung memikirkan, mempertimbangkan, dan memperhitungkan keuntungan
dan kekurangannya, dan ternyata saya lebih banyak menemukan kekurangannya dalam
MLM tersebut sehingga saya menolaknya, maka itulah penolakan aktif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar