Mengubah
Haluan Masyarakat dari Prainformasional Menjadi Informasional
oleh Hafni Resa Az-Zahra
Ada sebuah pertanyaan tentang bagaimana
caranya mengubah masyarakat prainformasional menjadi masyarakat informasional.
Sebelum menguraikan bagaimana caranya mengubah masyarakat prainformasional
menjadi masyarakat informasional, hal yang pertama harus diketahui adalah apa
yang dimaksud dengan masyarakat prainformasional dan informasional, bagaimana
ciri atau sebabnya, barulah masuk kepada bagaimana solusinya.
Masyarakat prainformasional
adalah masyarakat yang masih dikatakan tertinggal dalam informasi. Mengapa
demikian? Karena masyarakat prainformasinal hanya mencari dan mengolah
informasi secara tradisonal, sehingga informasi yang mereka dapatkan sangat
terbatas. Tradisional di sini artinya masyarakat hanya mendapat informasi
berdasarkan pengalaman mereka secara langsung tanpa bantuan dari teknologi
infomrasi.
Apa yang terjadi pada
masyarakat prainformasional ini berbanding terbalik dengan masyarakat
informasional. Masyarakat informasional dapat dikatakan sebagai masyarakat yang
sudah ‘melek’ informasi dan informasi yang didapat bukanlah hanya berdasarkan
dari satu sumber atau melalui pengalaman secara langsung, melainkan masyarakat
informasional sudah melibatkan teknologi dalam mencari dan mengolah informasi.
Maka dari itu masyarakat informasional memiliki informasi yang luas, tidak
terbatas. Mereka menggunakan teknologi untuk memudahkan, mempercepat, dan
memperbanyak informasi.
Mengapa bisa terjadi
perbedaan antara masyarakat prainformasional dengan masyarakat informasional?
Perbedaan tersebut bisa terletak pada kebudayaan, karakter, pola hidup, dan
tingkat pendidikan masyarakat yang bersangkutan.
Masyarakat adalah
sekelompok orang yang tinggal di wilayah tertentu, terikat oleh kebudayaan dan
aturan, dan saling berinteraksi dalam jangka waktu yang relatif lama. Ada
kemungkinan masyarakat prainformasional memperoleh informasi yang minim serta
kurang kritis dalam mengolah informasi dikarenakan mereka terikat oleh
kebudayaan dan aturan dalam masyarakat tersebut. Misalnya saja yang terjadi
pada masyarakat suku Baduy di Banten. Mereka yang sangat bergantung pada alam
dan ‘mendewakan’ alam kurang memberikan respon yang positif terhadap perubahan.
Mereka menganggap segala bentuk perubahan akan mengganggu kestabilan alam.
Termasuk dalam hal teknologi informasi, mereka cenderung tertutup untuk
menerima perubahan dalam teknologi informasi.
Namun demikian, seiring
berjalannya globalisasi, perubahan adalah sebuah keniscayaan. Pasti terjadi
meski hal itu memerlukan waktu yang relatif lama. Maka untuk mengubah
masyarakat prainformasional menjadi informasional jika penyebabnya adalah
aturan dan kebudayaan suatu masyarakat yang sangat mengikat, diperlukan usaha
yang sabar dan terencana. Sabar dalam artian tidak terburu-buru dalam
memperkenalkan teknologi informasi kepada masyarakat yang bersangkutan.
Diperlukan agen perubahan yang benar-benar mampu memahami kondisi masyarakat
dan dapat diterima oleh masyarakat (dipercaya masyarakat) sebelum inovasi dalam
bidang teknologi informasi dikenalkan pada masyarakat. Sementara terencana
berarti inovasi yang akan dikenalkan harus melalui perencanaan yang matang.
Memperhitungkan bagaimana dampaknya, pendekatan apa yang akan digunakan,
mengapa masyarakat tersebut yang awalnya prainformasional harus diubah ke
masyarakat informasional, dengan cara bagaimana, dll.
Tidak jauh beda antara
masyarakat prainformasional yang disebabkan karena aturan dan budaya dengan masyarakat prainformasional yang
disebabkan oleh karakter masyarakat tersebut. Keduanya sama-sama memiliki
kekuatan dalam mempertahankan ciri khas masyarakat mereka. Namun perbedaannya
terletak pada sisi ‘ego’. Jika masyarakat prainformasional tersebut disebabkan
karena aturan dan budaya, maka mereka tidak bisa bersikap apa-apa lagi dalam
menyikapi perubahan selain menolaknya atau menghambat perubahan tersebut agar
tidak masuk dengan cepat. Tapi jika masyarakat prainformasional tersebut
disebabkan karena karakter masyarakat yang bersangkutan, misalnya saja karakter
mereka keras, tidak mudah percaya pada orang baru, etnosentris, dan lain-lain,
itu akan lebih mudah dipengaruhi oleh agen perubahan agar mau menerima
perubahan dalam teknologi informasi. Mengapa bisa seperti itu? Karena dalam hal
ini tidak adanya budaya dan aturan yang mengikat masyarakat untuk
mempertahankan nilai dan norma serta hal apapun itu yang telah mereka anggap
benar.
Selanjutnya adalah
masyarakat prainformasional yang disebabkan oleh pola hidup atau kebiasaan. Itu
merupakan bentuk kebiasaan yang berawal dari kurangnya pengetahuan masyarakat
akan hal-hal yang realistis. Sekelompok masyarakat terbentuk menjadi masyarakat
yang prainformasional disebabkan bukan karena tidak adanya teknologi informasi
dan segala inovasinya yang memasuki wilayah kehidupan mereka, melainkan pola
hidup dan kebiasaan mereka yang masih tradisional yang pada akhirnya membentuk
mereka menjadi masyarakat prainformasional.
Sebagian besar
masyarakat tradisional belum memiliki sudut pandang yang kritis. Dahulu ketika
ilmu pengetahuan belum berkembang bahkan masih ada sampai sekarang sebuah
kondisi di mana masyarakat menerjemahkan segala seusuatu yang terjadi melalui
paradigma yang tidak berdasarkan pada keilmuan. Apa contohnya? Adalah mitos,
sebuah jawaban untuk rasa keingintahuan masyarakat pada zamannya. Ketika rasa
ingin tahu manusia terus bertambah sementara penalaran mereka terbatas dalam
menerjemahkan sesuatu, maka mereka akan percaya pada mitos yang sebenarnya
bersumber dari imajinasi seseorang kemudian memasyarakat lewat cerita dari
mulut ke mulut. Mitos tersebut dapat diterima masyarakat karena memang pada
zamannya hanya penjelasan dari mitoslah yang mendekati pada kebenaran meskipun
belum tentu itu merupakan kebenaran yang hakiki. Disadari atau tidak, pola
kehidupan yang memercayai mitos seperti itu dan pola penyampaian berita,
cerita, informasi dari mulut ke mulut tersebut menjadi kebiasaan yang bahkan
sampai saat ini masih sulit dihilangkan di beberapa daerah padahal ilmu
pengetahuan dan teknologi juga sudah masuk dan berkembang di daerahnya. Dengan
situasi seperti itu maka tentu masyarakat menjadi kurang selektif terhadap
informasi. Mereka hanya akan puas pada satu jawaban/informasi saja tanpa mau
memperbanyak referensi yang akhirnya jadilah mereka masyarakat
prainformasional. Untuk mengatasinya dibutuhkan sebuah upaya yang mampu membuat
masyarakat melek akan ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi. Setalah itu
dijelaskan pula kepada masyarakat akan kebenaran informasi yang bersumber dari
ilmu pengetahuan dan teknologi itu dengan bahasa yang mudah dicerna masyarakat
dan masyarakat diminta untuk membandingkannya sendiri dengan beberapa informasi
lain yang mereka terima. Tindakkan konkretnya bisa saja dengan membuat majalah
dinding (mading) yang berisi rubrik-rubrik informasi yang bersumber dari
internet di lingkungan RW oleh para pemuda RW tersebut, atau dengan mengadakan
pelatihan komputer dan penyuluhan internet masuk desa. Dengan demikian
perlahan-lahan masyarakat tersebut akan lebih tergugah untuk berubah dari
masyarakat prainformasional menjadi masyarakat informasional. Intinya ajaklah
dahulu masyarakat agar bisa berpikir berdasarkan penalaran dan logika, bukan
hanya puas pada jawaban hasil imajinasi semata karena itu merupakan jembatan
untuk membuat masyarakat prainformasional menjadi masyarakat informasional.
Selanjutnya adalah
upaya mengubah masyarakat prainformasional menjadi masyarakat informasional
melalui pendidikan. Ini akan terjadi pada masyarakat yang sudah mau menerima
ilmu pengetahuan dan teknlogi namun belum benar-benar dikatakan ‘melek’
terhadap ilmu pengatahuan dan teknologi tersebut yang dampaknya pencarian dan
pengolahan informasi belum berasal dari banyaknya sumber referensi yang di
dapat berdasarkan bantuan teknologi informasi.
Melalui program
pendidikan dan pembelajaran, maka masyarakat informasional ini dapat dibentuk.
Caranya dengan membiasakan pendidik dan peserta didik untuk mencari serta mengolah
bahan ajar dan sumber belajar melalui teknologi informasi, juga menjadikan
teknologi informasi sebagai media dalam kegiatan belajar mengajar. Contohnya
seperti pengajaran berbasis komputer dan internet, tugas-tugas studi literatur
dari internet, tugas analisis dari berbagai sumber internet, dan lain-lain yang
mampu membuat guru dan siswa lebih kritis lagi dalam mencari dan mengolah
informasi. Contoh lain adalah dengan adanya program turnitin yang mampu
mendeteksi tingkat plagiarisme sebuah tugas, ini akan mendorong peserta didik
untuk lebih selektif dalam memilih informasi, mencari referensi
sebanyak-banyaknya namun mengolahnya secara bijak dan menyikapi mana referensi
yang paling benar yang dapat digunakan tanpa adanya plagiarisme. Dengan
demikian perlahan-lahan budaya masyarakat prainformasional dapat diubah menjadi
budaya masyarakat informasional karena siswa/mahasiswa diajak oleh
guru/dosennya untuk mencari, mengolah, dan bersikap kritis terhadap informasi
yang diperolehnya melalui teknologi informasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar