Senin, 29 Desember 2014

Resume Pembelajaran: Inovasi dan Modernisasi



NAMA   : HAFNI RESA AZ-ZAHRA
KELAS   : 2-A


INOVASI DAN MODERNISASI

Diskusi hari Selasa, 10 September 2013 pada mata kuliah Inovasi Pendidikan dibahas tentang pengertian inovasi dan modernisasi serta kaitan antara Inovasi dengan modernisasi.
Dari paparan pemateri, didapat bahwa Inovasi merupakan sebuah perubahan baik yang berasal dari perbaikan terhadap sesuatu yang sebelumnya pernah ada atau bahkan perubahan yang berasal dari sesuatu yang murni belum pernah ada sebelumnya. Sedangkan modernisasi adalah bentuk transformasi keadaan dari keadaan yang sebelumnya tradisional/berkembang, menjadi lebih maju/modern. Perubahan pada moderniasasi ini termasuk ke dalam perubahan sosial. Kemudian kaitannya atara modernisasi dengan inovasi satu sama lain adalah Inovasi akan memnandai munculnya modernisasi.
Dari paparan pemateri, beberapa orang di kelas tergelitik untuk menanyakan hal-hal yang tentunya berhubungan dengan Inovasi dan Moderniasasi. Salah satunya adalah saya sendiri.
Saat itu saya bertanya, “Mana yang lebih dahulu ada, Inovasi dulu kemudian Modernisasi atau justru sebaliknya?” Lalu bagaimana jika seandainya inovasi yang ada tidak diterima oleh masyarakat, apakah modernisasi tetap terjadi?”
Saudari Tira yang berlaku sebgai pemateri saat itu memberikan jawaban bahwa modernisasi dan inovasi itu berjalan berdampingan. Ketika modernisasi terjadi maka di dalamnya ada inovasi, dan ketika inovasi terjadi maka akan terjadi juga modernisasi. Sedangkan jika inovasi tidak diterima masyarakat maka modernisasi tidak akan pernah terjadi.
Dari jawaban yang ada, nampaknya sedikit membingungkan juga. Alasannya pertama, pemateri menjawab jika inovasi tidak diterima masyarakat maka modernisasi tidak akan pernah terjadi. Itu seolah-olah menggambarkan bahwa inovasi terjadi lebih dahulu kemudian modernisasi akan terjadi setelah inovasi. Sedangkan sebelumnya pemateri menjelaskan bahwa modernisasi dan inovasi itu berjalan bersama-sama.
Kemudian saudara Andi Permana menambahkan bahwa menurutnya Inovasi yang lebih dahulu ada, setelah itu barulah terjadi modernisasi. Sehingga Andi setuju bahwa ketika inovasi tidak diterima masyarakat maka tidak akan terjadi modernisasi.
Saya sendiri masih belum bisa berkesimpulan pada saat itu, karena yang saya yakini walaupun ada keterkaitan antara modernisasi dan inovasi, namun diantara kedduanya seperti ada hal yang seharusnya menjadi faktor utama timbulnya sesuatu yang lain. Seperti sebuah hubungan sebab-akibat, jika “A” maka “B”.
Kemudian saya teringat kembali  pendapat Soerjono Soekanto (1982), seorang Sosiolog, mengemukakan bahwa:
1.              Manusia modern  adalah orang bersikap terbuka terhadap pengalaman-pengalaman baru maupun penemuan-penemuan baru. Intinya tidak ada sikap apriori atau prasangka.
2.              Manusia modern senantiasa siap untuk menerima perubahan-perubahan setelah ia menilai kekurangan-kekurangan yang di hadapinya saat itu.
Sehingga pada akhirnya saya menyimpulkan sementara memang benar ada keterkaitan antara keduanya, meskipun inovasi dan modernisasi berjalan berdampingan namun tetap saja inovasi lebih dominan menjadi faktor penyebab terjadinya modernisasi. “Jika inovasi ada, maka akan terjadi modernisasi, dan semata-mata tidak akan terjadi modernisasi jika masyarakatnya tidak memiliki potensi untuk menjadi masyarakat modern (masyarakat tidak bersikap terbuka terhadap hal-hal baru).” Saya sampai pada sebuah pendapat, masyarakat yang tidak menerima perubahan adalah masyarakat yang belum siap menjadi modern.
Pertanyaan selanjutnya ditanyakan oleh saudari Hani Nur Azizah, “Bagaimana jika ada siswa yang tidak mau mendukung terjadinya perubahan, seperti ketika dia hanya menyukai satu pelajaran saja yaitu matematika sehingga dia malas mempelajari pelajaran lain, atau ketika dia sudah cocok dengan guru A namun ketika gurunya diganti menjadi B dia sulit menerima apa yang ‘disuguhkan/dihadirkan’ guru B dalam proses pembelajaran?”
Dari berbagai pendapat yang ada, seperti salah satunya dari saudari Ai Linda, mengatakan bahwa harus ada upaya ekstra dari gurunya untuk bisa menyesuaikan terhadap keinginan siswanya. Apa yang menjadi harapan siswa dalam proses pembelajaran harus diketahui oleh guru. Sependapat dengan Andi Permana Sutisna, juga mengatakan bahwa faktor “Human Errornya” itu ada pada guru sehingga harus guru yang mencari tahu menyesuaikan perubahan tersebut dengan kondisi dan keinginan murid. Sedangkan jawaban pemateri sendiri yang diwakili oleh saudari Lilis Susanti, salah satu pemecahannya adalah dengan implementasi kurikulum 2013 ke dalam proses pembelajaran sehingga siswa tidak merasa bosan dan di rasa perubahan akan tampak menyenangkan.
Dari jawaban-jawaban tersebut saya mengambil sikap seperti berikut ini:
1. Faktor “Human Error” (tidak mau terbuka terhadap perubahan) bisa terjadi pada kedua belah pihak baik itu guru maupun siswa. Jika terjadi pada siswa, tetap saja yang akhirnya harus mengalah adalah guru. Karena sejatinya guru dituntut untuk peka terhadap keadaan siswanya. Guru pernah mempelajari psikologi pendidikan, pedagogik, dll. sehingga guru harus lebih mengerti tentang harapan siswanya dalam proses pembelajaran. Sehingga inovasi-inovasi apapun yang dilakukan guru dalam proses pembelajaran maka guru harus mengkaji siapa dan seperti apa saja siswanya sehingga akhirnya ditemukan metode pembelajaran yang tepat dan efektif untuk para siswanya.
2. Bisa juga terjadi karena kepribadian guru. Misalkan guru “A” mengajar dengan penuh keceriaan dan bisa membuat anak-anak tertawa ketika di kelas karena karakternya yang humoris. Sedangkan guru “B” mengajar dengan baik namun karena karakternya yang biasa saja tidak humoris, guru “B” kurang disukai siswa. Maka yang harus dilakukan guru adalah dengan melakukan sharing antar guru, misalnya saja guru “B” tersebut bertukar pikiran dengan guru “A” bagaimana caranya mengajar dengan inovasi-inovasi pembelajaran yang sempat dilakukannya. Namun tentunya guru “B” tersebut tidak boleh sampai mengikuti semua aspek yang ada pada guru “A”. Guru “B” walau ingin mengadopsi beberapa hal dari guru “A”, dia harus tetap menjadi dirinya sendiri sambil seantiasa berusaha menemukan metode mengajar yang tepat tanpa dia harus menjadi orang lain. Karena setiap orang hanya akan nyaman dan terlihat unik jika dia tetap menjadi dirinya sendiri. Jadi biarkan siswa dan guru sama-sama saling menyesuaikan diri satu sama lain, meski tetap yang harus lebih banyak berkorban adalah gurunya.
3.    Menanggapi pernyataan Lilis bahwa dengan mengimplementasikan kurikulum 2013 maka siswa tidak akan merasa bosan, maka itu pun tentunya harus banyak lagi yang guru korbankan. Tentunya agar pembelajaran menyenangkan, guru harus keluar dari zona nyamannya dan mengajar dengan media dan metode yang lebih kreatif lagi. Sehingga ketika guru berkomitmen ingin menjalankan kurikulum 2013 dengan sungguh-sungguh, maka guru harus siap dengan segala konsekuensinya. Guru harus belajar untuk lebih kreatif dan inovatif agar mampu menciptakan atmosfer pembelajaran yang menyenangkan.
Selanjutnya adalah pertanyaan dari saudarai Nurul Awalina terkait dengan pro dan kontra kurikulum 2013. Nurul bertanya bahwa kurikulum 2013 ini merupakan sebuah inovasi kurikulum, lalu bagaimana caranya agar kurikulum 2013 ini diterima masyarakat?
Jannatul Fuadah dan Tira Widianti selaku pemateri menyampaikan pendapatnya, bahwa kurikulum 2013 ini menuai kontra karena kurikulum yang sebelumnya saja baru diterapkan tujuh tahun dan itu belum termasuk ke dalam jangka waktu yang lama. Namun tetap saja karena kurikulum 2013 ini sudah mulai dilaksanakan, seyogyanya para guru harus mendukung karena jika terlaksana ini merupakan sebuah inovasi yang sangat baik.
Di sela-sela diskusi tersebut saya memberikan tambahan. Berdasarkan beberapa artikel berita dan wacana dari internet yang saya baca beberapa bulan lalu, maka benar bahwa idealnya kurikulum itu diterapkan selama 10 tahun, baru setelah itu dievaluasi baik atau tidaknya kurikulum tersebut. Dari jangka waktu KTSP sampai Kurikulum 2013 ini rentang waktunya masih tujuh tahun, belum sampai 10 tahun sehingga evaluasinya belum ideal dan maksimal. Lebih parah lagi ketika kurikulum KBK tahun 2004 ke KTSP 2006 itu malah sama sekali tidak dilaksanakan evaluasi. Dan ternyata opini dan wacana tersebut diperjelas lagi ketika saya mengikuti acara Talk Show dengan salah satu anggota Komisi X DPR RI, Ibu Popong yang juga merupakan praktisi pendidikan UPI, mengatakan bahwa kurikulum 2013 ini dilaksanakan secara sepihak. Menurutnya ketika dilaksanakan uji publik pada bulan Desember 2012 di Tasik, yang diundang itu hanya dari kalangan yang jelas sudah Pro Kurikulum 2013 saja, sehingga hasilnya jelas hampir 90% mereka setuju agar kurikulum 2013 dilaksanakan. Dan memang beliau sendiri menegaskan bahwa semua hal yang terjadi di kementrian penidikan itu banyak berhubungan dengan “proyek”, sehingga pada akhirnya kurikulum 2013 ini cepat-cepat dilaksanakan.
Terlepas dari benar atau tidaknya pendapat yang dikatakan Bu Popong tersebut dan kembali pada pertanyaan yang diajukan oleh Nurul Awalina di kelas, saya berpendapat bahwa kita sebaiknya jangan hanya memandang segala sesuatunya dari sisi negatif saja. Sudah waktunya kita menerima kebijakan pemerintah dengan tetap berfikir positif, karena di sisi lain banyak juga kelebihan dari kurikulum 2013 ini. Jadi untuk membuat masyarakat (termasuk juga kalangan guru sendiri) yang semula kontra menjadi pro terhadap kurikulum 2013, maka sebaiknya apa yang menjadi nilai plus dari kurikulum 2013 ini disosialisasikan kembali tentunya harus oleh orang yang tepat dan jago dalam hal “lobbiying”. Juga selain disosialisasiokan senantiasa dihimbau agar masyarakat sama-sama mendukung dan mendorong apa yang kini sudah dijadikan kebijakan (read: kurikulum 2013), karena jika sudah dijadikan kurikulum dan harus dijalankan, namun tidak dijalankan dengan penuh kesungguhan, maka “kegagalan dalam pendidikan” bisa terjadi lagi dan terlihat semakin menjadi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar