NAMA : HAFNI RESA AZ-ZAHRA
KELAS : 2-A
INOVASI
DAN MODERNISASI
Diskusi hari Selasa, 10
September 2013 pada mata kuliah Inovasi Pendidikan dibahas tentang pengertian
inovasi dan modernisasi serta kaitan antara Inovasi dengan modernisasi.
Dari paparan pemateri,
didapat bahwa Inovasi merupakan sebuah perubahan baik yang berasal dari
perbaikan terhadap sesuatu yang sebelumnya pernah ada atau bahkan perubahan
yang berasal dari sesuatu yang murni belum pernah ada sebelumnya. Sedangkan
modernisasi adalah bentuk transformasi keadaan dari keadaan yang sebelumnya
tradisional/berkembang, menjadi lebih maju/modern. Perubahan pada moderniasasi
ini termasuk ke dalam perubahan sosial. Kemudian kaitannya atara modernisasi
dengan inovasi satu sama lain adalah Inovasi akan memnandai munculnya
modernisasi.
Dari paparan pemateri,
beberapa orang di kelas tergelitik untuk menanyakan hal-hal yang tentunya
berhubungan dengan Inovasi dan Moderniasasi. Salah satunya adalah saya sendiri.
Saat itu saya bertanya,
“Mana yang lebih dahulu ada, Inovasi dulu kemudian Modernisasi atau justru
sebaliknya?” Lalu bagaimana jika seandainya inovasi yang ada tidak diterima
oleh masyarakat, apakah modernisasi tetap terjadi?”
Saudari Tira yang
berlaku sebgai pemateri saat itu memberikan jawaban bahwa modernisasi dan
inovasi itu berjalan berdampingan. Ketika modernisasi terjadi maka di dalamnya
ada inovasi, dan ketika inovasi terjadi maka akan terjadi juga modernisasi.
Sedangkan jika inovasi tidak diterima masyarakat maka modernisasi tidak akan pernah
terjadi.
Dari jawaban yang ada,
nampaknya sedikit membingungkan juga. Alasannya pertama, pemateri menjawab jika
inovasi tidak diterima masyarakat maka modernisasi tidak akan pernah terjadi.
Itu seolah-olah menggambarkan bahwa inovasi terjadi lebih dahulu kemudian
modernisasi akan terjadi setelah inovasi. Sedangkan sebelumnya pemateri
menjelaskan bahwa modernisasi dan inovasi itu berjalan bersama-sama.
Kemudian saudara Andi
Permana menambahkan bahwa menurutnya Inovasi yang lebih dahulu ada, setelah itu
barulah terjadi modernisasi. Sehingga Andi setuju bahwa ketika inovasi tidak
diterima masyarakat maka tidak akan terjadi modernisasi.
Saya sendiri masih
belum bisa berkesimpulan pada saat itu, karena yang saya yakini walaupun ada
keterkaitan antara modernisasi dan inovasi, namun diantara kedduanya seperti
ada hal yang seharusnya menjadi faktor utama timbulnya sesuatu yang lain.
Seperti sebuah hubungan sebab-akibat, jika “A” maka “B”.
Kemudian saya teringat kembali pendapat Soerjono Soekanto (1982), seorang
Sosiolog, mengemukakan bahwa:
1.
Manusia modern adalah orang bersikap terbuka
terhadap pengalaman-pengalaman baru maupun penemuan-penemuan baru. Intinya
tidak ada sikap apriori atau prasangka.
2.
Manusia modern senantiasa siap untuk menerima perubahan-perubahan
setelah ia menilai kekurangan-kekurangan yang di hadapinya saat itu.
Sehingga pada akhirnya saya menyimpulkan sementara memang
benar ada keterkaitan antara keduanya, meskipun inovasi dan modernisasi
berjalan berdampingan namun tetap saja inovasi lebih dominan menjadi faktor
penyebab terjadinya modernisasi. “Jika inovasi ada, maka akan terjadi
modernisasi, dan semata-mata tidak akan terjadi modernisasi jika masyarakatnya
tidak memiliki potensi untuk menjadi masyarakat modern (masyarakat tidak
bersikap terbuka terhadap hal-hal baru).” Saya sampai pada sebuah pendapat, masyarakat
yang tidak menerima perubahan adalah masyarakat yang belum siap menjadi
modern.
Pertanyaan selanjutnya ditanyakan oleh saudari Hani Nur
Azizah, “Bagaimana jika ada siswa yang tidak mau mendukung terjadinya
perubahan, seperti ketika dia hanya menyukai satu pelajaran saja yaitu
matematika sehingga dia malas mempelajari pelajaran lain, atau ketika dia sudah
cocok dengan guru A namun ketika gurunya diganti menjadi B dia sulit menerima
apa yang ‘disuguhkan/dihadirkan’ guru B dalam proses pembelajaran?”
Dari berbagai pendapat yang ada, seperti salah satunya dari
saudari Ai Linda, mengatakan bahwa harus ada upaya ekstra dari gurunya untuk
bisa menyesuaikan terhadap keinginan siswanya. Apa yang menjadi harapan siswa
dalam proses pembelajaran harus diketahui oleh guru. Sependapat dengan Andi
Permana Sutisna, juga mengatakan bahwa faktor “Human Errornya” itu ada pada
guru sehingga harus guru yang mencari tahu menyesuaikan perubahan tersebut
dengan kondisi dan keinginan murid. Sedangkan jawaban pemateri sendiri yang
diwakili oleh saudari Lilis Susanti, salah satu pemecahannya adalah dengan
implementasi kurikulum 2013 ke dalam proses pembelajaran sehingga siswa tidak
merasa bosan dan di rasa perubahan akan tampak menyenangkan.
Dari jawaban-jawaban tersebut saya mengambil sikap seperti
berikut ini:
1. Faktor
“Human Error” (tidak mau terbuka terhadap perubahan) bisa terjadi pada kedua
belah pihak baik itu guru maupun siswa. Jika terjadi pada siswa, tetap saja
yang akhirnya harus mengalah adalah guru. Karena sejatinya guru dituntut untuk
peka terhadap keadaan siswanya. Guru pernah mempelajari psikologi pendidikan,
pedagogik, dll. sehingga guru harus lebih mengerti tentang harapan siswanya
dalam proses pembelajaran. Sehingga inovasi-inovasi apapun yang dilakukan guru
dalam proses pembelajaran maka guru harus mengkaji siapa dan seperti apa saja
siswanya sehingga akhirnya ditemukan metode pembelajaran yang tepat dan efektif
untuk para siswanya.
2. Bisa
juga terjadi karena kepribadian guru. Misalkan guru “A” mengajar dengan penuh
keceriaan dan bisa membuat anak-anak tertawa ketika di kelas karena karakternya
yang humoris. Sedangkan guru “B” mengajar dengan baik namun karena karakternya
yang biasa saja tidak humoris, guru “B” kurang disukai siswa. Maka yang harus
dilakukan guru adalah dengan melakukan sharing antar guru, misalnya saja guru
“B” tersebut bertukar pikiran dengan guru “A” bagaimana caranya mengajar dengan
inovasi-inovasi pembelajaran yang sempat dilakukannya. Namun tentunya guru “B”
tersebut tidak boleh sampai mengikuti semua aspek yang ada pada guru “A”. Guru
“B” walau ingin mengadopsi beberapa hal dari guru “A”, dia harus tetap menjadi
dirinya sendiri sambil seantiasa berusaha menemukan metode mengajar yang tepat
tanpa dia harus menjadi orang lain. Karena setiap orang hanya akan nyaman dan
terlihat unik jika dia tetap menjadi dirinya sendiri. Jadi biarkan siswa dan
guru sama-sama saling menyesuaikan diri satu sama lain, meski tetap yang harus
lebih banyak berkorban adalah gurunya.
3.
Menanggapi pernyataan Lilis bahwa dengan
mengimplementasikan kurikulum 2013 maka siswa tidak akan merasa bosan, maka itu
pun tentunya harus banyak lagi yang guru korbankan. Tentunya agar pembelajaran
menyenangkan, guru harus keluar dari zona nyamannya dan mengajar dengan media
dan metode yang lebih kreatif lagi. Sehingga ketika guru berkomitmen ingin
menjalankan kurikulum 2013 dengan sungguh-sungguh, maka guru harus siap dengan
segala konsekuensinya. Guru harus belajar untuk lebih kreatif dan inovatif agar
mampu menciptakan atmosfer pembelajaran yang menyenangkan.
Selanjutnya adalah pertanyaan dari saudarai
Nurul Awalina terkait dengan pro dan kontra kurikulum 2013. Nurul bertanya
bahwa kurikulum 2013 ini merupakan sebuah inovasi kurikulum, lalu bagaimana
caranya agar kurikulum 2013 ini diterima masyarakat?
Jannatul Fuadah dan Tira Widianti selaku
pemateri menyampaikan pendapatnya, bahwa kurikulum 2013 ini menuai kontra
karena kurikulum yang sebelumnya saja baru diterapkan tujuh tahun dan itu belum
termasuk ke dalam jangka waktu yang lama. Namun tetap saja karena kurikulum
2013 ini sudah mulai dilaksanakan, seyogyanya para guru harus mendukung karena
jika terlaksana ini merupakan sebuah inovasi yang sangat baik.
Di sela-sela diskusi tersebut saya
memberikan tambahan. Berdasarkan beberapa artikel berita dan wacana dari
internet yang saya baca beberapa bulan lalu, maka benar bahwa idealnya
kurikulum itu diterapkan selama 10 tahun, baru setelah itu dievaluasi baik atau
tidaknya kurikulum tersebut. Dari jangka waktu KTSP sampai Kurikulum 2013 ini
rentang waktunya masih tujuh tahun, belum sampai 10 tahun sehingga evaluasinya
belum ideal dan maksimal. Lebih parah lagi ketika kurikulum KBK tahun 2004 ke
KTSP 2006 itu malah sama sekali tidak dilaksanakan evaluasi. Dan ternyata opini
dan wacana tersebut diperjelas lagi ketika saya mengikuti acara Talk Show
dengan salah satu anggota Komisi X DPR RI, Ibu Popong yang juga merupakan
praktisi pendidikan UPI, mengatakan bahwa kurikulum 2013 ini dilaksanakan
secara sepihak. Menurutnya ketika dilaksanakan uji publik pada bulan Desember
2012 di Tasik, yang diundang itu hanya dari kalangan yang jelas sudah Pro
Kurikulum 2013 saja, sehingga hasilnya jelas hampir 90% mereka setuju agar
kurikulum 2013 dilaksanakan. Dan memang beliau sendiri menegaskan bahwa semua
hal yang terjadi di kementrian penidikan itu banyak berhubungan dengan
“proyek”, sehingga pada akhirnya kurikulum 2013 ini cepat-cepat dilaksanakan.
Terlepas dari benar atau tidaknya pendapat
yang dikatakan Bu Popong tersebut dan kembali pada pertanyaan yang diajukan
oleh Nurul Awalina di kelas, saya berpendapat bahwa kita sebaiknya jangan hanya
memandang segala sesuatunya dari sisi negatif saja. Sudah waktunya kita
menerima kebijakan pemerintah dengan tetap berfikir positif, karena di sisi
lain banyak juga kelebihan dari kurikulum 2013 ini. Jadi untuk membuat
masyarakat (termasuk juga kalangan guru sendiri) yang semula kontra menjadi pro
terhadap kurikulum 2013, maka sebaiknya apa yang menjadi nilai plus dari
kurikulum 2013 ini disosialisasikan kembali tentunya harus oleh orang yang
tepat dan jago dalam hal “lobbiying”. Juga selain disosialisasiokan senantiasa
dihimbau agar masyarakat sama-sama mendukung dan mendorong apa yang kini sudah
dijadikan kebijakan (read: kurikulum 2013), karena jika sudah dijadikan
kurikulum dan harus dijalankan, namun tidak dijalankan dengan penuh
kesungguhan, maka “kegagalan dalam pendidikan” bisa terjadi lagi dan terlihat
semakin menjadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar